Dongeng Kartini, Puisi Tiyo Ardianto
Dongeng Kartini
Apakah ada Kartini di sini?
Apakah ada Kartini hari ini?
Apakah ada?
Kartini tuan puteri sejati
Melukis cahaya lewat kata-kata
Menafsirkan luka merambah sisi Eropa
Kemudian menguap menghujani Jepara.
Kalau tv bilang “Dan sekitarnya”
Seperti di film atau drama teater.
Kartini suka berKebaya
Kita tahu, ia tak punya pilihan
Saat itu, belum ada baju banana.
Sebagai Puteri Bupati
Kartini harus meminang presisi
Sampai basi, lebur dipanasi.
Sampai basi, lebur dikebiri.
Sampai basi, lebur dilucuti.
Atau menikah lagi? Menjadi istri ke sekian kali?
Kartini bukan membenci tradisi
Ia hanya ingin membaca dunia
Dan menghias dunianya
“Itu Sederhana” kata Saya.
Malam itu,
Kartini membuka jendela
Bulan tak sengaja mengintip raungnya.
Kartini bercerita kepada bulan
Bulan meringkuh memeluk Kartini
Sebagai Lazuardi, yang dirahasiakan dan disamarkan aksaranya
Sejak itu, Kartini hanya mencintai Bulan sebagai Kekasih dan tempat merintihkan suara.
“Itu Dunianya” kata saya.
//
“Saya Kartini, tadi dikatakan puteri sejati. Saya sedang melihat zaman. Sambil melanjutkan manuskrip saya. Ini bumi saya yang dulu bukan?
Bulan tak bisa berkata apa-apa.
Tanpa memalingkan muka
Bulan menutup mata Kartini.
Seperti biasa, Kartini tak suka dikekang.
“Saya Kartini, tadi dikatakan suka berkebaya.
Setelah saya lihat, pada hari saya lahir. Semua berpakai kebaya atau baju daerahnya. Menenteng mimpi kecil mereka. Harus dipastikan, mereka sedang sadar. Saya sedih, jika mereka terus tidur.”
Bulan ikut sedih.
Tanpa menangis atau gundah.
Bulan mengusap keringatnya.
Bulan sudah sangat basah.
Barangkali ia gugup, atas kebingungan Kartini.
Ia kelagapan, mau dibawa ke Negeri mana Kartini ini?
Kartini pulang ke kuburan, yang digalinya sendiri. Setelah perjalanan tadi. Ia masih tak bisa tidur nyenyak.
Kudus-Jepara
20 April 2018
Tiyo Ardianto