Karya, Puisi

Puisi Tiyo Adianto di Suara Merdeka

Pada Suatu Subuh (1)
–Ari Syamsuddin

Tak kita batasi waktu dengan batu
sebab setiap yang padat akan cepat tamat
mudah pecah mudah sudah

“maka berjaga,” katamu
“akan memperpanjang usia”

sampai seluruh hawa subuh berlabuh
matahari bersimpuh: setan apa saja jangan hina
saya dengan hutang dan undang-undang!

awan mengepak—mengapa roda kerja
menodainya?
dari hari yang suci—apa ‘rodi’ masih
terjadi?

baik sekali Tuhan itu, menyediakan cahaya
dalam beberapa warna: putih, kuning, merah
dan biru sehingga tak jemu manusia memandangnya

tentu meski mereka telah bosan pada kesibukan
roda kerja dan (mungkin) rodi yang
masih terjadi

“tapi apa sebenarnya warna cahaya?”
jangan kau curigai Ia.

Bae Krajan—Kudus, 2020


Pada Suatu Subuh (2)

27 Mei—pada suatu subuh sebuah tubuh
jatuh, tak kuasa kau dengar riuh suara ruh
alam yang luruh: magma
melambung
di
gunung Agung!

tubuh dengan jiwa macam apa
ang tengah turun dari angkasa?

syahdan
akhirnya terungkap:
ia mustahil tertangkap
dalam rimba gelap, meloncat dan

yang sempat kulihat:
babad abjad yang menebar pada
surat kabar dan daun lontar

Bae Krajan—Kudus, 2020


Pada Suatu Subuh (3) 

i.

“Tak ada yang butuh Tuhan”
—nn

itu satu-satunya kalimat dari sebuah
surat tanpa nama: tak jelas siapa yang dengan
percaya mengirimkannya ke beranda surau serta

siapa saja yang subuh itu berada di sana
mereka tak merasa berhak menerima

sebab di surat itu tertulis “kepada: manusia
yang tak mengharap surga”

dan, ya—ia mustahil

ii.

seorang marbot bertanya pada kamera
yang dipasang di semua sisi
surau (yang menegaskan keraguan
jemaat pada malaikat) tentang penemuan
memilukan
yang terjadi subuh tadi

dan tak ada
jawaban, papa
cuma layar hitam, yang pekat!

iii.

maka ia sepakat…

(saya lupa memberi tahu pembaca bahwa surat itu ditemukan
seorang pedagang ulung yang rajin ke surau untuk melaporkan kerja dan
keadaan pasar kepada Tuhan sambil meminta iba
ia dan doa: ia dan keinginannya
ia dan surga)

…bersama pedagang ulung itu
untuk membuat surat tandingan
hanya dengan satu kalimat dan alamat:

kepada: surga yang tak mengharapkan manusia
 “Tuhan tak butuh apa-apa!”

iv.

hampir duha
tapi Ridwan tak kunjung
mengangkat surat itu ke akhirat
—apa
Tuhan telah membacanya?

Bae Krajan—Kudus, 2020


Yang Merantau ke Timur

atas nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang…

saya gelombang sembahyang
yang datang dari negeri sebrang
hanya niat bertandang menyebar udara segar

negeri saya akan mati
hanya menyisakan perang dan panas bumi
menurut riwayat rahasia yang tak tercatat dalam sabda
: di tanah perantauan ini akan terbit matahari sekaligus rembulan

sengaja saja, saya tiba tanpa kereta kencana
hanya kaki putih dan telapak tasbih
penduduk tanah ini tak mengagumi kemewahan bukan?

sebab itu, satu-satunya modal perantauan saya
adalah salam, semoga udara segar
: keselamatan, rahmat, dan anugerah Tuhan
serasi dengan hawa di tanah ini

amiin.

Bae Krajan—Kudus, 2020


Engkau Ingin Jadi Kapal
—Erna Dwi Listiyani

Sejak awal kita percaya: semesta hanya punya
satu samudera, ia tak terlihat dan tak terikat waktu
tak bakal kita temu setangkai sungai
yang sampai ke Muara itu

—kecuali jika kita tahu bahwa bumi adalah batu
pada jiwa manusia segala rahasia berjaga

dan dugaanku benar, sekarang engkau berguru kepada alam
akhirnya engkau sadar: setiap laut punya batas dan mata
manusia yang membatasinya—mungkinkah yang paling
luas adalah batas?

tak ada selain angin yang
mampu menjawab pertanyaanmu

sebab sejak awal kita yakin: angin tak bakal menemui ajal

“aku ingin jadi kapal,” katamu
“hanya digiring oleh angin”

: aku juga.

Bae Krajan—Kudus, 2020


Tiyo Ardianto, penyair, tinggal di Kudus. Tergabung dalam antologi puisi Sesapa Mesra Selinting Cinta, diundang dalam Pertemuan Penyair Nusantara XI 2019. Omah Dongeng Marwah adalah salah satu ruang tumbuhnya. Alamat surel ardiantotiyo@gmail.com.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan