Ragam

Melihat Lebih Jernih Kehidupan Kelas Dua Kota Jakarta dengan Mata Jiwa

Esensiana, 21 November 2017, Penulis Fajar

Sekitar pukul setengah tiga sore, kami (rombongan dari Pustaka Warga) memasuki ruangan berukuran sekitar 15 x 7 meter, tempat dimana pemutaran film Mata Jiwa yang mengambil tempat di teater mini SMA Ma’arif Karangmoncol, Purbalingga, dilakukan. Seluruh tempat duduk yang disusun berundak itu sudah penuh terisi penonton yang menyesaki ruangan. Panitia, dengan sigap mengarahkan kami agar memperoleh tempat duduk. Hanya saja, saya bagian dari rombongan yang tak cukup beruntung, karena tak mendapatkannya.  Tapi pemandangan di panggung membuatku tak merisaukan tempat duduk.

Aksi mendongeng Jihan, anak berusia 8 tahun yang memukau penonton

Di depan, terlihat anak kecil yang penuh percaya diri sedang mendongengi kami. Jadilah sebelum mata saya dibuat berkaca-kaca oleh film garapan anak-anak SD dan SMP, terlebih dahulu saya dibuat kagum oleh bocah berumur delapan tahun tapi sudah mahir mendongeng. Cara bicaranya yang lugas dengan intonasi yang pas, sorot matanya, gerak tangannya, turut “berbicara” menceritakan kisah anak dan mimpi besarnya. Jihan Patricia Kirana namanya. Ia adalah pendongeng cilik yang bergabung di Omah Dongeng Marwah.

Penampilan Jihan tadi berakhir. Saya masih belum dapat tempat duduk. Sementara lampu yang sejak semula menuntun mata kami mengenali keadaan sekitar dimatikan, film mulai diputar. Penonton, tanpa banyak dikomando, merapikan cara duduknya masing-masing. Seolah bersiap-siap hanyut terbawa cerita pada film yang hendak ditonton.

Mata Jiwa bercerita tentang kehidupan “kelas kedua” yang seringkali tersisih dari hiruk pikuk kota Jakarta. Seolah dari mereka, tak perlu didengar pendapat dan keinginan-keinginannya. Adapun satu dua kali wajah-wajah lelah mereka muncul dilayar kaca, itu biasanya pada berita soal penggusuran, relokasi, atau apapun itu namanya. Dan film ini, paling tidak menurut saya, sukses menyuarakan cita-cita sederhana mereka. Untuk tetap hidup dari hari ke hari sungguhpun kehidupan keras yang harus mereka jalani.

Fokus film yang diadaptasi dari cerpen bikinan Tsaqiva Kinasih Gusti yang juga menjadi sutradara film ini adalah kisah kehidupan keluarga pemulung yang tinggal area kumuh Jakarta. Mereka menempati rumah bedeng. Sebentuk rumah dengan konstruksi triplek dan benda-benda ala kadarnya yang ditata sedemikian rupa hanya agar menghalau pandangan dari luar. Jika diperhatikan lebih detail, lobang-lobang kecil masih terlihat di sana-sini. Seakan menjadi ornamen penghias rumah.

Di suatu malam, ayahnya mendongengi Jiwa—nama anak yang menjadi lakon utama—tentang keindahan bintang kejora. Dengan antusias Jiwa menyimak baik-baik dongeng ayahnya, sambil sesekali mengucek area mata dengan tangan kecilnya. Namun keasyikan mereka terusik oleh suara keras ibunya yang meminta mereka segera beristirahat. Terpaksa dongeng yang begitu mengasyikan bagi Jiwa itu terputus. Dari dongeng ayahnya itulah ia menjadi begitu penasaran ingin melihat sendiri bintang yang dimaksud.

Lantas dari lobang-lobang di rumahnya itu, Jiwa yang menderita rabun jauh mengintip bintang sebagaimana ada dalam dongeng ayahnya. Siapa menduga, ia berhasil melihat “bintang” yang berkelipan di malam hari. Kontan saja, ia menceritakan pengalamannya melihat benda langit tersebut pada ibunya. “ Bu, tadi malam aku melihat bintang yang berkelap-kelip di atas bangunan itu” Namun ibunya menimpali dengan nada penuh ketidakpercayaan. “Ora mungkin to yo, mesti bapak seng cerito aneh-aneh” ujarnya sambil melanjutkan aktivitasnya.

Namun tidak demikian dengan ayahnya yang mengira Jiwa sudah membaik dari sakit yang dideritanya. Ayahnya pun meminta Jiwa untuk menunjukkan di mana ia melihat bintang. Hingga sejurus kemudian, Jiwa mengarahkan matanya tepat di salah satu lobang rumahnya. Dengan penuh harap, ayahnya mengikuti langkah anaknya; mengintip bintang.

Dari situlah harapan tentang kesembuhan anaknya harus ia kubur dalam-dalam. Rupanya yang Jiwa lihat hanyalah lampu-lampu di hotel mewah yang menjulang di sisi rumahnya. Sontak, sang ayah, dengan tangis yang ditahan lekas-lekas mendekap putranya. Hah entah perasaan seperti apa yang bercokol dibenaknya kala itu.

Hotel yang menyajikan gemerlap “bintang” di malam hari itu jualah yang menjadi sebab penggusuran yang menimpa rumah Jiwa dan keluarganya. Rumah dimana mimpi dan harapan-harapan sederhana keluarga kecil itu tersimpan, digaruk buldozer atas dalih penataan kota. Imbas dari penggusuran itu, persahabatannya dengan Aiman, temannya yang berasal dari Medan, harus terpisah. Tentu saja itu menjadi luka yang tak harus menimpa Jiwa dan anak-anak lainnya, seandainya penggusuran itu tidak pernah dilakukan.

Dari film berdurasi 30 menit ini, kita menjadi tahu, bahwa kerap kali kebijakan pemerintah alpa memperhatikan betapa pada setiap penggusuran dilakukan, disitu ada anak-anak yang harus terpisah dengan teman dekatnya, ada mimpi yang juga turut terusir, ada harapan keluarga kecil yang pupus, dan tentu saja, derita kaum jelata.

Jiwa dan keluarganya hanya satu dari sekian banyak korban penggusuran. Masih banyak Jiwa-jiwa lain yang menjadi korban rejim pembangunanisme.

Para pemain dan kru film Mata Jiwa memperkenalkan diri di depan penonton

BERBINCANG DENGAN SUTRADARA DAN PRODUSER FILM MATA JIWA

Dibalik kerja-kerja luar biasa yang dilakukan oleh anak-anak Omah Dongeng Marwah, ada sosok Alfian Hasan yang telaten menemani mereka. Di film Mata Jiwa ini ia menjadi produsernya. Ia bersama teman-teman aktivis kota kretek adalah pendiri dari Omah Dongeng Marwah. Sebuah tempat yang mengambil konsentrasi mendidik anak dengan metode dongeng.

Di tempat tersebut, puluhan anak berkumpul saben hari Senin hingga Kamis dan Sabtu-Minggu sore untuk mengeksplorasi imajinasi mereka dengan mendongeng atau mendengar dongeng.

Kak Hasan, begitu ia kerap disapa, menceritakan tentang proses terlahirnya film ini. Menurutnya, film sebagai sebuah puncak dari karya seni—karena merupakan gabungan dari berbagai (dimensi) karya seni—lahir dari gagasan kreatif anak-anak. Dirinya mengaku hanya memotivasi  yang diingankan oleh anak-anak yang tergabung dalam Omah Dongeng Marwah. “Saya ini kan hanya berperan sebagai yang di baliknya orang yang dibelakang layar” ujarnya merendah.

Ia mengaku salut dengan kegigihan anak-anak didiknya yang pantang menyerah dalam pembuatan film yang memakan waktu hingga rentang delapan bulan ini. Dalam amatannya, jika diberi kepercayaan, anak-anak memiliki kemampuan loncatan ide yang melebihi ekspektasi orang tua. “Kalau kita ukur menggunakan angka, setelah diberi arahan hingga langkah ke lima misalnya, anak-anak tidak melangkah ke enam, tapi meloncat ke langkah sepuluh atau bahkan lebih. Anak-anak ini mampu melihat suatu hal dalam berbagai perspektif imajinatif” tandasnya.

Ditemui di tempat terpisah, Tsaqiva, anak kelas 9 SMP yang menjadi sutradara film ini menuturkan hal senada. Menurutnya, ia tak banyak mengalami kendala berarti saat menggarap film ini bersama temannya-temannya. Meski ia juga tak memungkiri, friksi-friksi kecil selama proses pembuatan film. “ Kita sering berdebat juga, misalnya saat sedang mengedit nih, kita beda persepsi. Misal menurut aku udah bener, tapi ini nih (sambil menunjuk Orion, kameramen film) sering beda persepsi” Tapi mereka menganggap proses perdebatan itu masih wajar dan dilakukan untuk kepentingan kualitas film yang dihasilkan.

Ketika ditanya mengenai ide film tersebut, ia menjelaskan ide film didapat dari pengalamannya yang sering menempuh perjalanan dari Semarang, tempat ia bersekolah, ke rumahnya, di Kudus. Saat ia melintasi wilayah perbukitan di malam hari, ia melihat gemerlap lampu rumah yang menyaru seolah bintang malam. Saat itulah ia terpikir tentang bagaimana jika ada anak yang belum pernah melihat bintang dan akan mengira bahwa lampu-lampu tersebut adalah bintang. Dari situlah ide membuat cerpen yang kemudian difilm-kan ini berasal. “ Ya dari situ aku dapat idenya, lalu aku adaptasi, aku tambah-tambahi, jadilah seperti itu” jelasnya antusias.

Foto bersama relawan Pustaka Warga dan Tsaqiva Kinasih Gusti di akhir acara

Tapi terlepas dari ide yang muncul tanpa dinyana, perdebatan kecil yang mengiringi selama proses pembuatan, dan kisah-kisah lain dibalik layar, film tersebut berhasil membuat saya meneteskan air mata. Beruntung lampu ruangan saat itu dimatikan sehingga citra sebagai pria tegar tetap bisa saya jaga.

Mata Jiwa, tetaplah menjadi bintaaang!

Fajar, Semacam pemuda, suka kopi, berafiliasi dengan PMII

Tinggalkan Balasan