Ragam

Munculnya Sineas Muda di Lereng Muria

Tribun Jateng, Opini, Sabtu 18 November 2017, Penulis Arif Rohman

Pada nobar film Mata Jiwa di Auditorium Universitas Muria Kudus (11/11), filmmaker Warih Bayu Wicaksono, mengatakan, “Dulu pada tahun 80-an pernah ada syuting film anak-anak di Kudus, dan saya ikut berperan dalam film tersebut. Sekarang (2017), ada film yang dibuat oleh anak-anak usia SD-SMP, ini benar-benar gila dan saya begitu senang.”

Mata Jiwa adalah film adapatasi dari cerpen berjudul Bintang di Langit Jakarta, ditulis oleh Tsaqiva Kinasih Gusti. Tsaqiva masih duduk di bangku SMP Semesta Semarang, bersama teman-temannya di Omah Dongeng Marwah mengadaptasi cerpen tersebut menjadi film. Bulan ini, film Mata Jiwa diapresiasi oleh Kemendikbud dengan cara di nobarkan pada 28 November 2017 di Jakarta.

Pada bulan Desember tahun 2016, ketika liburan sekolah, Tsaqiva bersama temannya di ODM mengisi liburannya dengan praktik membuat film. Persis setahun sebelumnya, Omah Dongeng Marwah mengadakan workshop film untuk anak-anak dengan mendatangkan Aris Prasetyo, yang juga dikenal karena mengajari anak-anak SMP di Purbalingga membuat film. Selepas workshop tesebut beberapa film dibuat oleh anak-anak di ODM, seperti film tentang para pejuang Komando Daerah Muria berjudul Macan Putih Muria.

Berbeda dengan film sebelumnya, Mata Jiwa diproduksi kurang lebih delapan bulan. Prosesnya sendiri, seperti pelatihan membuat film lanjutan dari workshop sebelumnya. Dipandu oleh clipmaker dari Jakarta, Andika Wardana, anak-anak ODM memproduksi Mata Jiwa dengan proses dan alat yang lebih memadai. Anak-anak dibiasakan membuat film dengan mengenal proses pra-produksi dan pasca-produksi.

Tsaqiva sebagai penulis cerpen BdLJ, disepakati oleh teman-teman di ODM sebagai sutradara dan penulis naskah skenario/skrip film. Orion Bima Wicaksana, yang waktu itu masih duduk di bangku SMP 3 Kudus, memilih mendalami peran sebagai cameramen, hobi gambarnya juga tersalurkan lewat pembuatan sketsa skenario sebelum syuting dilaksanakan. Beberapa teman seusia mereka lainnya mengisi peran sebagai aktor dan kru film.

Anak-anak membuat film memang langka. Meskipun apa yang dilakukan anak-anak Kudus yang bergiat diODM, sebelumnya lebih dulu dilakukan anak-anak SMP 1 Atap di Purbalingga dan Kelompok Belajar Qaryah Tayyibah di Salatiga. Kita bisa lihat siapa menginspirasi siapa? dan menunggu siapa lagi yang akan terinspirasi?

Biaya produksi film yang ditayangkan di koran dan televisi atas pemberitaan film-film populer, memang mencengangkan, bisa sampai triliunan. Membuat film menjadi hal yang susah diwujudkan bila dibayangkan dari biaya produksinya. Namun, melihat anak-anak sudah lincah mengoperasikan smartphone dan beberapa yang lain memotret dengan kamera DSLR, membuat film menjadi mungkin dilakukan oleh siapa saja yang tinggal di mana saja.

Belajar dari Melakukan

Tentang belajar, Ki Hadjar Dewantara, menyatakan, “Semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah.”

Masa bersekolah adalah masa di mana anak-anak belajar, mulai membaca dan memahami mata pelajaran yang disampaikan guru di sekolah. Orangtua punya kecenderungan mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah dan pemerintah mencanangkan progam wajib belajar.

Meskipun terkadang kesadaran bersekolah dipahami bahwa hanya di sekolah anak bisa belajar. Perkataan Bapak Pendidikan Indonesia tadi bisa jadi penjelas, bahwa kita bisa belajar dari siapa saja dan di mana saja.

Lewat praktik membuat film, siswa SD 1 Panjang, Radian, jadi terbiasa membaca skrip film. Selain memerankan aktor Jiwa dalam film Mata Jiwa, ia juga berperan dalam film drama dongeng Kelingking yang Pemberani, karenanya, suatu hari ia tiba-tiba meminjam notebook ayahnya untuk menulis skrip film karyanya sendiri. Beberapa waktu lalu, ia mengaku sudah menyelesaikan skripnya tersebut, Radian menulis skrip film tentang persahabatan.

Melihat kejadian itu kita bisa mengingat beberapa perkataan orang, semisal, “Learning by doing.” Meski, pernah ada workshop film di ODM yang berisi penyampaian materi, kita bisa menduga, pengetahuan dan keinginan untuk mempraktikan proses pembuatan film yang terjadi pada Radian, baru merasuk setelah proses praktik pembuatan film yang cukup panjang. Kita mungkin sering mendengar anak-anak mudah meniru tingkah laku orang di sekitarnya. Maka dari itu ada anjuran mengajar dengan cara memberi teladan.

Pembelajaran di sekolah masih menjadi pilihan utama orangtua, menyediakan waktu untuk les menjadi perhatian lanjutan dari bersekolah oleh orangtua. Kita bisa menduga, itu semua untuk menjawab kebutuhan mengerjakan PR dan tes yang umumnya tertulis yang didapat dari sekolah. Kita tahu, tes tertulis lebih mengutamakan teori daripada praktik.

Barangkali berkaca dari kisah Radian, kita juga perlu memikirkan bagaimana teori bisa menumbuhkan pemahaman dan keinginan untuk praktik, supaya anak-anak Indonesia lebih gemar berkarya. Begitu.

Tinggalkan Balasan