Ragam

Kata Tertawa

::Tulisan bapak Hasan Aoni yang lembut dan berwibawa telah mengingatkan saya kepada sesuatu ::

Dulu sekali, leluhur kita amat kesulitan menyatukan gelombang komunikasinya. Mungkin mereka tidak mendefinisikan hal itu sebagai suatu kesulitan, tapi jika kita melihatnya dari kacamata abad modern; kehidupan yang amat sulit dibahasakan, terlebih dengan kata –sama dengan– kehidupan tanpa ekspresi. Itu merupakan indikasi bahwa mungkin, kehidupan leluhur kita amat sangat tak berarti.

Tak bisa dibayangkan kehidupan abad modern ini berjalan tanpa bahasa kata. Di tengah deras gencarnya informasi berterbangan. Mungkin kebaikan yang akan didapat adalah kehidupan ini akan berlangsung dengan lebih sederhana, dan ‘kemegahan’ yang selama ini kita dapati hilang seketika.

Harga barang di pasar dan swalayan ditulis dengan isyarat. Tidak ada angka. Ilmu di ruang pendidikan disampaikan dengan isyarat. Tidak ada huruf. Kitab suci berjalan dengan naluri, tanpa pernah dibacakan sebagai bahasa segamblang bahasa kata. Masyarakat yang berkumpul di pengajian, kenduren, dll. itu tidak lagi memerlukan soundsystem karena tidak ada suara yang perlu dikencangkan. Juga aktivis, pegiat sosial, gerakan radikal, faham liberal, Bhinneka tendensi Tunggal koalisi, mulut-mulut yang merongrong kesahajaan negara dan apa pun; tidak perlu dibungkam.

Tuhan begitu arif, menyiapkan kehidupan yang begitu modern dan kompleks ini, dengan menganugerahi manusia bahasa kata. Apakah manusia masih berpikir bahwa kehidupan nenek moyang kita amat sangat tak berarti?

“Belum tentu dong!” tiba-tiba sahabat saya yang jauh asalnya datang dan melesatkan kata-kata. Baiklah, belum tentu. “Pada zaman leluhur kita itu,” ia melanjutkan, “yang oleh ilmuwan pintar disebut ‘kera’ dan zaman batu, problematikanya bukan bahasa, sederhana sekali, sekadar cari makan dan kenyang. Tentu ada, kecenderungan untuk mencukupi keluarga dan menyayanginya, tapi parameter kasih sayang yang amat gamblang pada zaman itu, kan memberi orang yang disayanginya dengan makanan terlezat hasil buruan paling menantang!”

“Kok sampeyan sebegitu teganya membandingkan manusia modern dengan manusia purba yang gagap berbahasa? Mereka melakukan pencarian yang amat mustahil dilakukan oleh kerumunan manusia abad ini.”

Ia tak melanjutkan ucapannya. Sengaja diam. Mungkin istirahat. Tapi matanya yang melotot menyampaikan sinyal ke pikiran saya.

Saya ingat betapa manusia purba sangat rajin dan sabar mencari pembahasaan atas segala yang mereka alami. Di gua-gua, kita melihat bahwa manusia purba menggambar diri mereka sendiri. Suara mereka masih belum matang. Saat itu hanya bebatuan dan karang. Manusia purba meneliti dirinya sendiri, guna mempermudah pembahasaan. Mula-mula mereka mengenali penglihatan, dan objek yang dilihat. Meniru dan memproyeksikannya, sebisanya. Mereka amat rajin dan sabar. Amat rajin dan sabar.

“Gamblang saja,” sahabat saya yang dari tadi istirahat itu menyahut, “manusia sekarang tak punya kesabaran, sangat hemat belajar dan sangat rakus berkata-kata. Manusia sekarang tidak paham sejarah bahasa kata!”

Saya yang mendengarnya langsung tertegun. Belum sempat dahi saya tuntas mengerut dan mata saya terpicingkan. Ia sudah mendahului semua.

“Jangan heran kalau sekarang orang sangat meremehkan kata-kata. Mereka dapat memperjualbelikan kata dengan harga murah. Hoaks di mana-mana. Kemunafikan merajalela. Mulutmu harimaumu itu salah! Sebab mulut adalah gua yang menyimpan kata-kata.”

“Lalu?” Saya menyelanya, ndilalah ini agak menunda ocehnya yang menggetarkan.

“Lho? sampeyan masih tak paham? Kata-kata adalah harimau itu sendiri, Mas!”

Saya merasa bersalah karena emosinya semakin tajam menukik. Kalau saya mau membahasakan kondisi ‘dia’ saat itu, ‘dia’ sangat ngos-ngosan. Saya coba ikhtiar dengan kata-kata yang paling jelas kebenarannya. Saya bacakan Al-Baqarah ayat 31-32 dengan penghayatan yang penuh. Sengaja saya baca terjemahan Bahasa Indonesia (itupun terjemahan Kemenag) agar ‘dia’ dan saya sama-sama mudah mengerti.

:: dan Dia (Allah) ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya. Kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar! • Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Al Quran, surat Al Baqarah ayat 31-32) ::

Emosi sahabat saya itu yang awalnya menukik dipenuhi amarah, kini tiba-tiba layu menjadi amat melankolis. Tanpa sadar, saya melihatnya menangis. Sambil tetap berucap dengan kata-katanya yang lantang dan tegas tapi terbata-bata.

“Lah ya, maksud saya sedari tadi yang nggak jauh-jauh dari ayat itu. Kita ini beruntung dan mesti bersyukur karena langsung diajari oleh Allah, oleh Tuhan yang Maha Esa. Kok ya dengan kata-kata kita amat tak menghormati. Kemewahan gaya hidup, ekonomi global, perang dan perdamaian, penjajahan dan kemerdekaan, keegoisan atau kemaslahatan bersama; itu semua kan ya dipengaruhi oleh kata-kata, Mas. Kok ya dipakai dengan sewenang-wenangnya.”

Tangisannya amat merintih, dan suara bahasa kata yang diucapkannya bertengkar dengan suara tangisnya.

“Itu kenapa setiap bertemu orang kayak sampean, saya ingin mengingatkan mbok belajar tentang sastra; yang serius dan ndak setengah-setengah. Soal kata-kata, manusia memang mesti remedial learn! Harus dimulai dari awal, agar kembali atau setidaknya mepet ke ayat tadi.”

Waduh, tangisannya semakin nggero-nggero. Perlahan mereda, tapi di akhir Ia teriak sekeras-kerasnya. Ia lalu terperangah melihat saya. Ia meraba-raba tubuhnya sendiri. Heran dengan tangan dan wajahnya sendiri. Apalagi saat menatap cermin, mimik mukanya justru seperti melihat mata air. Saya tak pernah melihat adegan semacam ini selain di film manusia purba.

Selang beberapa menit tubuhnya dipenuhi rambut. Ia sudah tak berdiri seperti seorang Sapiens. “Mas, sampeyan kena balak apa ini? Apa ada yang nyantet sampeyan dari jauh? Mas?” Saya melihat telinga di kepalanya, tapi Ia seperti tak mendengar ucapan saya. Ia mungkin tak memahami apa yang saya katakan.

“Mas, ayo kita ke dokter saja. Ke klinik terdekat. Mumpung aku ada BPJS. Kita pesan ojek online dulu. Mas diam ya, jangan keluar dari tempat ini!” Lho malah karena saya bilang itu, Ia langsung lari keluar. Ia berteriak-teriak. Hampir di jalan ia keserempet truk.

Secara nekat dari kejauhan saya teriak, “Mas, bukankah Allah telah mengajarimu nama benda? Mengajarimu bahasa dan kata? Mbok diingat ajaran Allah itu. Dengar ucapan saya kan, Mas?” Karena saya berbicara dengan bahasa tubuh yang penuh. Ia seperti mengira-ngira maksud ucapan saya.

“Nah, sampeyan pasti mulai ingat! Sekarang ke sini saja!” Tangan saya melambai, pertanda memintanya mendekat. Saya agak lega, karena Ia perlahan mendekat. Ia nutul-nutul tangan saya yang melambai. Saya memberanikan diri untuk mengelus kepalanya yang gimbal. Sambil menganga dan menunjuk mulut saya. Saya berkata, “Kata-kata … kata-kata …”

Ia tertawa. Mungkin meledek saya. Saya ikut tertawa. Ia ganti diam. Kami saling lihat-melihat. Sama-sama bingung dengan apa yang barusan terjadi. Bahkan kami tak tahu kenapa kami sama-sama tertawa. Akhir dari kebingungan itu. Kami tertawa lagi, tertawa lagi. Seolah kata-kata habis.

Kami tertawa lagi, tertawa terus-menerus, haha!

Tiyo Ardianto

Tinggalkan Balasan