Ragam

Membaca ”Kahanan”, Memberantas Kebodohan

JIKA kecerdasan adalah kompos kemerdekaan, kebodohan adalah hamanya. Untuk memberantasnya, Raja Persia, Muhammad Reza Pahlavi perlu mengundang menteri pendidikan seluruh dunia dalam suatu konferensi. Kelak pertemuan ini menjadi sejarah lahirnya Hari Aksara Sedunia atau International Literacy Day. Diperingati setiap 8 September. Di Tehran, Iran, nama lain Persia, 8 September 1965, puluhan negara yang baru merdeka hadir. Negara-negara itu sedang giranggirangnya menghirup udara kemerdekaan paska kekalahan Jepang di Asia dan rontoknya sekutu Eropa di akhir Perang Dunia Kedua tahun 1945.

Sepulang dari pertemuan, kegelisahan baru muncul. Rumah-rumah dan sekolah-sekolah runtuh, tokoh-tokoh penting dan para guru gugur dalam perang. Apa yang harus dibangun untuk menjaga kemerdekaan? Jawabannya pendidikan. Akses pendidikan warga pribumi yang tertutup di masa penjajahan mulai disusun dalam program ”pemberantasan buta huruf”.

Guru-guru dilahirkan. Anak-anak didorong untuk sekolah. Regulasi dikeluarkan untuk percepatan. Di Indonesia kita mengenal SD Inpres (Sekolah Dasar Instruksi Presiden) tahun 1974. Untuk memerkuat daya ingat, diberikan setiap minggu anakanak susu bubuk di sekolah. Juga divaksin atau dicutat agar daya ingat betah mendekam di tubuh yang sehat. Mereka menyicil utang kebodohan yang tak pernah mereka ajukan. Harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan.

Setelah lebih dari 50 tahun Hari Aksara dicetuskan, Indonesia hampir sempurna keluar dari kebodohan. Angka melek huruf pada 2019, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy waktu itu, tinggal satu persen. Namun, yang nyaris 100% bisa membaca itu ukurannya keterampilan menghapal huruf dan angka atau dalam pengertian lebih luas aksara. Kebebasan masyarakat dari kebutaan jenis ini tak sepenuhnya merdeka, sebab semua varian aksara, baik teks, gambar, simbol, coding, video, film, sebagian justru berpotensi menciptakan kebutaan baru.

800 ribu situs di Indonesia, menurut data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 2019, terindikasi menyebarkan informasi palsu alias hoaks. Dengan pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta orang, lebih dari penjajah, kebodohan baru justru sedang dibangun secara massif oleh orang-orang yang keluarganya di masa lalu lulus program pemberantasan buta huruf. Dengan tantangan ini, istilah aksara sebagai gerakan literasi tidak lagi memadai. Bukan saja pengertiannya yang sangat terbatas, melainkan karena tantangan yang dihadapi hari ini tak cukup teknis, tetapi juga moral.

UNESSCO lebih maju menggunakan istilah Hari Aksara sebagai literacy, bukan letter, alphabet atau script. Pengertian literasi dimaknai sebagai kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang berhubungan dengan bahasa.

Pemberantasan buta huruf sungguh pun sangat penting, tapi ia bersifat partial dan darurat, sangat terikat kebutuhan kala itu. Ia hanya alat dan anasir dari literasi. Sekolah kita, mulai zaman Pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, sampai sebelum Medikbud kita sekarang Nadiem Makarim menghapusnya tahun ini, masih melanggengkan hapalan sebagai tolok ukur menilai kecerdasan anak. Model asesmen atas penguasaan huruf dan angka itu tercermin dalam soal-soal Ujian Nasional (UN) di level berikutnya.

Dalam mobilisasi program pemberantasan tersebut, Sekolah Dasar (SD) yang dibentuk sejak 13 Maret 1946 menjadi tidak dinamik sejak Europeesche Lagere School (ELS) di zaman Belanda sampai Sekolah Rakyat (SR) di zaman Jepang, jika anak-anak dilatih membaca hanya untuk menghapal.

Karena itu membaca sebagai kunci dari pemberantasan ”kegelapan”, kata lain kebodohan, tidak berhenti dimaknai sebagai pembacaan teks, tetapi keadaan. Bahasa Jawa mengistilahinya ”kahanan”, seperti perintah ”Iqro (bacalah!)” dalam surat al-Alaq. Makin jelas karena ternyata Nabi Muhammad Saw yang datang menerangi zaman kegelapan (jahiliyah) adalah manusia yang buta huruf (ummi) selama hidupnya. Saatnya memberantas kegelapan seperti dulu negara-negara yang baru merdeka memberantas kebodohan agar sebagai manusia kita selalu waras dan merdeka. (46)

—Hasan Aoni Aziz US, pengasuh Omah Dongeng Marwah

Sumber: Suara Merdeka

Tinggalkan Balasan