Ragam

Hati Nadiem

Orang boleh tak setuju Nadiem. Tapi, inilah kelebihannya, ia rendah hati dan mau mengoreksi cara mengomunikasikan program dan sejurus kemudian meminta maaf kepada NU dan Muhammadiyah. Ia menemui kedua lembaga itu. Keduanya memahami dan mau mengambil kembali peran mereka dalam program “Guru Penggerak”. Nadiem berkali-kali menyatakan kekurangannya dan dengan begitu ia belajar, terutama pada soal cara dan waktu sosialisasi yang tak cukup.

Saya dan beberapa pegiat pendidikan mendukung penuh waktu dia diangkat menjadi Mendikbud. Lalu datang prahara ini: Kemendikbud memberi sokongan dana puluhan milyar kepada Sampoerna dan Tanoto Foundation dalam program hibah pendidikan. Pengamat, asosiasi guru dan anggota DPR mengritik keras. Kedua foundation itu tak pantas disokong dana APBN. Mereka keramas uang bahkan sejak pertama lahir dari dana Corporate Social Responsibility (CSR). Di tengah kegaduhan itu, NU dan Muhammadiyah berempati dan mundur.

Tanoto dan Sampoerna Foundation menglarifikasi. Yang disebut terakhir bukan lembaga yang mengurusi asap rokok. Tetapi, lembaga nirlaba bidang sosial-pendidikan milik Putera Sampoerna, pemilik PT HM Sampoerna sebelum dibeli Philip Morris. Ternyata keduanya tak mendapatkan dana hibah dari Kemendikbud. Mereka dipilih dalam skema modeling guru penggerak melalui dana mandiri. Senyap kemudian isu yang semula ramai itu.

Di ruang publik, kita sering menyaksikan pemimpin dikritik dan dihujat. Bagaimana cara menghadapi cercaan dan menyudahinya tanpa amarah, menunjukkan kemampuan dan martabat pemimpin. Saya melihat itu ada pada Nadiem.

Saya mengira Nadiem akan kewalahan menjawab Ade Armando di CokroTV. Ternyata ia tak saja menjawab soal kegaduhan itu, sekaligus mengatasi lumpuhnya Kemendikbud menghadapi soal mulai BOSS sampai kualitas guru dan murid serta seribu satu problem pendidikan selama ini. Ia melakukan perubahan apa yang selama ini dianggap tak mungkin. Sebagai orang yang pernah mengisi jabatan publik meski di sebuah asosiasi, saya detail memerhatikan konten, diksi dan gestur Nadiem. Jawabannya lugas, objektif, terukur dan tertelusur. Ia cerdas dan nyaris semua statemennya sound bite.

Jika ukurannya ideal, tentu banyak kekurangan pada Nadiem. Ia menyadari itu dan mengakuinya. Tetapi, ketika seluncur kemudian ia koreksi dan meminta maaf dan menyatakannya kepada publik, tentu ini peristiwa yang langka di Indonesia. Cukup mengejutkan ketika ia menyatakan tak saja siap menerima kritik, tetapi menyukainya. Jika itu dikatakan politikus, saya wajib skeptis. Ia bahkan tak memahami dan bukan dari golongan itu.

Ade Armando, si pewawancara ini, tak kalah lugas, cerdas dan detail. Ia dari dunia pendidikan jika ukurannya dosen. Tapi, ia bukan orang dari disiplin pendidikan. Justru tipe pewawancara seperti ini banyak pejabat publik yang tak paham masalah menghindarinya. Setiap pertanyaan seperti peluru yang menyalak tak terduga. Jawaban-jawaban Nadiem menunjukkan ia belajar keras dalam sembilan bulan ini dan menyelaminya. Di pemerintahan Jokowi lalu, kita mengenal tipe ini pada Susi Pudjiastuti.

Ade Armando mencoba menarik Nadiem ke dalam pusaran problem dan bertanya, siapa pihak yang paling menjadi problem perubahan pendidikan? Ade memberi pilihan jawaban. Saya mengira ia akan memilih politikus. Mata Ade terbelalak dan saya sebagai penonton terkecoh. Ada sejenis predisposisi (pikiran yang mengendap) oleh seringnya golongan politisi jadi variabel tantangan perubahan.

“Persoalannya bukan pada orang atau pihak, tapi pada sistem yang terlanjur menanggung beban terlalu berat. Terjadi semacam “systemic inertia” atau kelambatan bergerak karena beban di lembaga pendidikan Indonesia yang sangat besar,” kata Nadiem.

Menyadari banyaknya tantangan dan mengakui kekurangan dirinya, ia tak muluk akan ada perubahan revolusioner di bidang pendidikan selama kepemimpinannya, meski ia bisa. Ia menyatakan, dan ini twist kedua saya, setidaknya bisa menciptakan “tipping point”. Keadaan saat orang sulit kembali ke kultur dan sistem lama pendidikan yang gelap dan lembam setelah api perubahan dinyalakan.

Jika Anda menyukai mutu daripada sensasi, Anda akan menemukan daging dan nyaris semua disajikan dalam bentuk presto wawancara yang meski berlangsung 1:19:55, tetapi serasa sekejap. Begitulah saya menemukan hati di wawancara ini. Hati Nadiem yang hati-hati menjaga luka hati masyarakat pendidikan Indonesia.

Salam dongeng!
Hasan Aoni, Omah Dongeng Marwah

 

Tinggalkan Balasan