Ragam

Berbeda-beda Tetapi Tetap Beda

Bhineka Tunggal Ika itulah semboyan Indonesia. Saya selalu menganggap bahwa semboyan itu sangat menakjubkan. Maknanya yang singkat dan jelas, walau kita berbeda, kita semua itu sama. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “Berbeda-beda tetapi tetap satu”(Wikipedia).

Tetapi semakin saya tumbuh besar, semakin hampa kalimat itu terdengar. Semakin terasa bahwa kalimat itu adalah sebuah perjanjian yang kosong. Kenapa? Karena sebagian rakyatnya.

Di Indonesia, hal-hal seperti diskriminasi, ketidakadilan, perundungan dan hal kekejian lainnya yang disebabkan oleh perbedaan masih terjadi. Mau itu berbeda agama, ras, status, kelamin atau warga negara. Rakyat Indonesia dan manusia secara general, masih bisa menemukan alasan untuk saling membenci satu sama lain.

Seorang anak bisa dibully karena mereka berbeda agama dari mayoritas siswa di sekolahnya. Seorang pegawai bisa turun gaji atau bahkan dipecat hanya karena mereka berkulit hitam. Seorang pekerja dianggap bego hanya karena dia tidak pernah sekolah.

Jika melihat orang tidak mampu, tidak ditolong, malah dibilang “makanya kerja dong”. Ujaran itu diungkapkan tanpa mengetahui bahwa mereka yang dirundung ini sebenarnya sedang bekerja keras mencari kerja.

Seorang wanita dianggap lemah hanya karena fakta bahwa mereka itu seorang perempuan, seolah berarti mereka hanya pantas disebut lemah lembut atau hanya bisa cantik saja.

Laki-laki dipandang harus selalu kuat, jika mereka menunjukkan kelemahan dalam jenis apapun, baik itu secara fisikal maupun emosional, maka dianggap gagal sebagai laki-laki.

Wanita yang terlihat kusut dibilang tidak cantik, lelaki penakut dibilang banci, orang miskin dibilang tidak cukup kerja keras. Hal-hal seperti ini, satu dari sekian hal penerapan semboyan Bhineka Tunggal Ika menurut saya belum dipenuhi.

Selain itu, masih ada alasan kita untuk saling membenci seperti penyakit mental, cara berpakaian, orientasi seksual, gaya hidup dan banyak lagi.

Yang lucu adalah bahwa orang-orang yang mendiskriminasi ini selalu menggunakan alasan seperti “ini demi kebaikan mereka”. Padahal terakhir kali saya cek, hal itu malah mengecilkan mereka korban diskriminasi. Dan membuat mereka merasa tidak benar ketika menjadi diri sendiri.

Dan jika mereka yang menjadi korban ini merasa sedih dan marah kemudian berteriak balik, sebagai usaha agar diperhatikan, tidak sekadar masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Mereka malah disalahkan dengan dalih mengganggu kedamaian, dianggap pemberontak, pelaku diskriminasi tidak menyadari bahwa itui respon korban dari mereka yang direndahkan.

Sebenarnya, apa susahnya sih menghormati sesama manusia? Menerima perbedaan masing-masing. Menyadari tidak semua orang dilahirkan dengan takdir yang sama? Toh kenyataannya, Bhineka Tunggal Ika itu tidak ribet kok, yang bikin ribet hanyalah diri kita sendiri.

Saya pernah mendengar, orang yang biasanya memandang perbedaan itu sebagai sebuah kesalahan disebabkan kepercayaan yang diajarkan tidak tepat. Kenapa kita tidak bisa sadar bahwa mungkin semua manusia tidak diajarkan hal yang sama? Dan bila kepercayaan itu sesuatu yang diajarkan, kenapa tidak kita coba belajar pandangan mereka, daripada mengalih pandang dan membutakan diri sendiri dari kebenarannya.

Kebenaran yang mereka lihat dan alami tidak sama dengan yang kita alami. Orang lain lahir dengan pengalaman yang berbeda dengan kita. Cara orang hidup itu tidak ada yang salah, kecuali kalau mereka hidup untuk menyakiti orang lain.

Jika mereka hidup tanpa ada tujuan untuk melukai seseorang, kenapa kita singkirkan mereka? Apakah terdengar benar itu? Apakah karena dia suka pakai topeng, berarti dia seorang kriminal? Jika dia mau berwarna pink daripada biru dia itu berpenyakit mental? Jika dia suka pizza dengan nanas berarti dia itu menjijikan? Tidak kan?

Tidak percaya? Kalau begitu carilah kebenarannya. Kalo masih tidak, ya diam. Hanya karena mereka sedikit berbeda, tidak berarti mereka adalah sebuah kesalahan. Jika mereka ingin hidup tanpa menyakiti siapapun, mereka berarti bukan kriminal. Gampangkan?

Ya tapi begitulah, kalimat kalimat diatas itu sebenarnya “easier said than done”. Tau kalimat apa lagi yang seperti itu? Bhinneka Tunggal Ika.

Tetapi hanya karena susah, tidak berarti mustahil… iya kan…?

Catatan:

Tulisan M Zufhar A Resar ini diambil dari jawaban soal Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada Penilaian Akhir Tahun Kelas XI Tahun Pelajaran 2019/2020, jawaban dari soal berikut: “Perbedaan agama dan suku kerapkali dijadikan pemicu kerusuhan. Bagaimana pendapatmu terkait perbedaan yang kamu alami dalam bersosialisasi dengan keluargamu, teman-temanmu dan orang lainnya? Tulislah esai bertema “Perbedaan” dengan bahasamu sendiri.”

Tinggalkan Balasan