Karya

[Cerpen] Surat untuk Brigitte

Cerpen Hasan Aoni

Aku tak bisa lagi menghitung curah hujan yang jatuh di hamparan sawah sore ini. Seperti James Symons di Inggris pada 1863 bersama Michael Ward, menghitung dengan alat pengukur terbuat dari tembaga, dengan corong lima inci yang memiliki pinggiran kuningan, satu kaki di atas tanah, dan menjadi pengukur curah hujan di seluruh dunia setelah itu.

Tahukah kamu, Brigitte, meski aku tak memiliki alat itu, aku memiliki tetua petani di desa kami, yang mahir membaca tanda-tanda alam. Ia sebulan lalu meramal, hujan tahun ini datang pertengahan Oktober. Bulan purnama surut sebulan lalu, diikuti awan hitam menjelang pagi. Jika angin timur datang menerpa, berarti sebulan lagi akan datang musim penghujan, lebih cepat dari tahun lalu. Semua warga memercayainya, juga aku. Dan ramalan itu terbukti sore ini.

Matahari belum mau tenggelam. Terpaku di depan ufuk menanti adzan. Tetapi, kabut lebih dulu datang menutup gerbang. Cahaya tembaganya tiba-tiba menghilang. Lalu datang rinai menangisi perginya. Disusul angin basah menerpa ranting-ranting jati di muka rumah kami. Perlahan setelah itu datang rintik air. Makin diterpa angin, makin jatuh membesar.

Sore ini kami pesta hujan. Dua kali petir pecah di bawah awan seperti kembang api pada pesta akhir tahun di negeri asalmu Inggris. Kilatnya berkali-kali memotret pematang sawah bagai pesta super-blitz di perayaan perkawinan Pangeran Charles dan Lady Di di Katedral Santo Paulus, London, 39 tahun silam. Aku tahu kamu di sana menari-nari dan menangis kemudian ketika sang Lady meregang nyawa di terowongan muram Pont de l’Alma 16 tahun sesudah perayaan.

Tapi, sedihmu tak seberapa, Brigitte. Aku dan para petani di sini sudah kehabisan air mata sejak Revolusi Hijau yang gagal pada dekade 70. Ia lahir prematur bahkan sejak ide. Tangis kami sampai tak bisa diwakili oleh hujan deras sore ini. Kegembiraan kami datang hanya semusim. Tanah-tanah yang retak mulai basah. Air menyesap di dalamnya. Tetapi, begitu hujan lewat, ia mengering begitu cepat, sekering irigasi di lahan tadah hujan desa kami yang sudah rata tanah.

Kami mencangkul sambil berlinang air mata. Kebahagiaan hujan sore ini tak seberapa artinya bagi kesejahteraan yang sudah berpuluh tahun hilang. Ujung cangkul kami menatap karang tanah, bebatuan bongkah olehnya. Jejak sejarah penimbunan tambang sirtu yang berakhir tahun 1985, itu masih tersisa. Di sini, hampir setengah abad lampau, dua perusahaan, PT Sekayu dari Semarang dan PT Ssangyong dari Korea Selatan, mengolah hotmix untuk melicinkan Jalan Daendels di sepanjang Semarang-Rembang. Lengkap sudah kegersangan di lahan kami oleh sisa bebatuan itu.

Pada gandar cangkul, pegangan hidup kami satu-satunya ini, setiap hari kami menggali kemiskinan. Tapi, kami tetap menanam meski hanya subsisten. Agar anak-anak tak memecah kendi kosong, tempat kami menyimpan beras yang tak seberapa itu. Lauk mewah kami adalah ikan-ikan yang masih tersisa di sungai Kaligelis. Juga ayam kampung yang kami pelihara. Kadang cukup dengan sayur-sayuran dari pot, karena garam kami cukup mewah menabur kelezatan dari situasi yang serba tak ada ini.

Brigitte, mungkin kamu mulai paham dengan kisahku sejak kamu pindah di Addis Ababa dua tahun silam. Aku mendengar beberapa lembaga nirlaba Israel mengguncang pikiran pemimpin Ethiopia dan menyulap tanah-tanah gersang di sana. Negeri tempat tinggalmu kini, masya Allah, menduduki peringkat ke-12 ketahanan pangan sedunia, setingkat di bawah Amerika, menurut survei Food Sustainability Index, melonjak dalam 20 tahun terakhir ini.

Aku tahu Ethopia telah lama menjalin hubungan dengan Israel. Tapi, aku tak bisa melupakan kisah memilukan di televisi tiga puluh tahun silam. Aku menyaksikan anak-anak kecil penuh ingus di bibirnya menggelepar dan mati. Perang saudara selama 17 tahun sejak 1974 hingga 1991 telah menghancurkan kemanusiaan dan sendi-sendi pertanian. Pemandangan itu masih kuingat dan tak percaya melihat capaian para petani di Ethiopia hari ini.

Tanah Ethiopia berubah subur bukan oleh tulang belulang manusia yang tewas hampir 1,5 juta selama kurun perang itu. Melainkan oleh “Warka”, menara serupa pohon endemik di sana, yang berhasil menangkap kabut dan mengumpulkan embun menjadi linangan air dalam bak yang ditanam di bawahnya.

Brigitte, aku senang memanggil nama depanmu, kamu tahu kami tak kekurangan air dibanding Ethiopia, bukan? Pun tanah kami tak segersang tanah di tempat tinggalmu kini. Tapi, entah negeri ini mengapa harus menanggung karma oleh kesuburannya? Berapa kali presiden berganti, menteri-menteri pertanian diangkat dari berbagai daerah subur dan gersang, tapi mereka tak mengubah apapun kesejahteraan. Produksi menyusut, harga panen terjerembab.

Kata sahabat kami dari Vietnam, investor dan LSM dari Israel yang membantu para petani di sana, ingin sekali membantu petani Indonesia. Tapi, para pemimpin kami, baik warganya, lebih-lebih pemerintah dan wakil legislatifnya, lebih suka berbeda pendapat dan bertengkar. Mereka ribut sendiri dan mengira pertengkaran itu tak berpengaruh terhadap pertanian. Para pemimpin kami dan pedagangnya culas. Aku kuatir lama-lama para petani meninggalkan lahan mereka. Dan para investor itu enggan datang lagi. Apalagi sejak kelompok agama yang jumlahnya hanya segelintir dibanding ormas besar kami itu, nyinyir pada pemimpin kami, juga Israel. Kamu ingat, kan? Hanya Gus Dur yang menerima Israel, sayang umur kekuasaannya tak panjang.

Kini, di musim pandemi yang seharusnya embung-embung air dibangun, parit-parit dihidupkan, kali-kali di kaki gunung dinormalkan, dan hutan gundul kembali ditanam, bahkan seharusnya jauh sebelum ini, berhenti hanya jadi retorika. Dikampanyekan dalam pidato di panggung-panggung politik dan di bangku perkuliahan. Memuncratkan uap sambil berkali-kali meneguk air di depannya. Dikira uap yang keluar berapi-api itu akan berubah hujan yang membasahi tanaman. Tidak! Tak bisa hanya dengan pidato.

Melalui surat ini, Brigitte, jika sampai kepadamu dan kamu membacanya, cukup kamu beri kami semangat. Kamu dapat berkunjung ke sini dan menyaksikan semuanya sebelum hujan berlalu semusim ini, dan sebelum saudara-saudara kami putus asa dan tak mau menanam apa-apa. Aku takut anak-anak petani menanam dendam tak saja pada tanah dan menjauhinya, juga kepada para pemimpinnya.

Coba kamu baca buku sejarah anak-anak SD di Ethiopia. Dulu para petani dirampas cangkulnya oleh Derg, rezim pemerintah negeri itu. Ia takut dukungan petani terhadap kaum pemberontak. Padahal tak semua petani mendukung mereka. Anak perempuan petani diperkosa. Yang melawan dibunuh. Kelaparan di mana-mana. Lalu petani melawan dan Derg terguling bersama klan politiknya.

Sore ini, anak-anak petani di sanggar belajar kami keluar dari kelas. Mereka ceria bermandikan air hujan sambil menunggu mahrib. Aku berdiri di bawah jendela menyaksikan dan tak menghalau apa-apa. Kubiarkan mereka mereguk pesta di bawah petir dan kilat, seperti kamu dan para pengagum pangeran Buckingham-mu dulu.

Kutahu, cepat atau lambat, mereka akan mengerti arti hidup dan perjuangan. Aku berharap mereka melaluinya dengan damai, bersama pemimpin baru yang memahami arti sejengkal tanah pertanian warisan orangtuanya. Entah berapa Pemilu lagi. Tak perlu sekelas Nabi Isa, yang diharap turun ke bumi, seperti ditulis para pendemo Omnibuslaw beberapa hari ini.

Salam untukmu, Brigitte.

Tinggalkan Balasan