Karya

Dokter Ramelan yang Berjiwa Pejuang

 

Saat itu Indonesia belum merdeka. Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta , berpidato di hadapan anggota Parlemen Belanda.

“Pemerintahan saat ini berutang budi dengan bangsa pribumi di Hindia Belanda,” ucap Ratu Wilhelmina. Pada masa itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda.

Pidato itu akhirnya ditindaklanjuti dengan berlakunya kebijakan politik balas budi, yang dikenal dengan program trias van Deventer. Kebijakan itu berbunyi, agar pemerintah kolonial membangun dan memperbaiki pengairan serta bendungan. Tujuannya untuk keperluan pertanian pribumi.

Selain itu pemerintah kolonial diminta mengajak pribumi untuk bertransmigrasi. Dan yang lebih penting, pemerintah kolonial perlu mendirikan sekolah-sekolah untuk pribumi.

***

Di masa-masa awal diberlakukannya kebijakan Politik Balas Budi, di Demak, pada 27 Januari 1901, lahir seorang anak laki-laki bernama Ramelan. Karenanya, ketika beranjak dewasa Ramelan bisa mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran.

Sekian waktu berlalu, Ramelan lulus sekolah dan mendapat gelar sebagai dokter.

Tugas pertamanya praktik di kota Kudus. Pada masa itu, selain Dokter Ramelan, dokter yang bertugas di Kudus adalah dokter Wiroreno dan dokter Wahyu.

Dokter Ramelan dikenal sebagai dokter yang ikhlas. Baginya menjadi dokter adalah tugas mengabdi. Bukan semata-mata mencari pundi-pundi uang dengan cara menyembuhkan orang sakit. Dokter Ramelan membuka praktik dokter di Jalan Sunan Muria, letaknya, dari Alun-alun Kudus sekitar 500 meter ke utara.

Dokter Ramelan juga pernah ikut melawan penjajah. Ia pernah bertugas di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan bergabung dengan gerilyawan di Kudus bersama Mayor Kusmanto.

Meski  begitu, dia tidak minta dihormati secara berlebihan. Ia memandang semua manusia berstatus sama. Termasuk ketika ia mengobati pasiennya. Ia tidak membeda-bedakan pasien, baik yang kaya meupun yang miskin.

Bagi Dokter Ramelan, mengobati pasien lebih utama dibandingkan menjual obat. Karena itu, bagi pasien yang miskin tidak diharuskan membayar biaya berobat. Pasien boleh berhutang dan membayarnya satu bulan kemudian.

***

Ilustrasi Dokter Ramelan (21car)
Ilustrasi Dokter Ramelan (21car)

Suatu ketika ada seorang yang datang ke tempat praktik Dokter Ramelan.

“Namanya siapa, Pak?”

“Amaruddin, Dok.”

“Tinggalnya di mana, Pak Udin?”

“Mijen, Dok.”

Ramelan memeriksa dengan sungguh-sungguh. Setelah didiagnosa, Pak Udin lalu diberi obat.

“Dok…”

“Ya.”

“Saat ini saya belum bawa uang,” kata Pak Udin.

“Tidak apa-apa, bapak boleh pulang dulu. Ini obatnya. Biayanya tidak perlu dibayar sekarang.”

“Matur suwun, Dok.”

Pak Udin yang sakit batuk pun pulang membawa obat dari Dokter Ramelan.

“Uhuk… uhuk…,” Pak Udin pulang sambil terbatuk-batuk.

Hari itu, banyak pasien yang berobat ke Dokter Ramelan. Pelayanan yang ramah dan kelonggaran membayar biaya berobat, membuat banyak warga datang ketika sakit.

***

Setiap awal bulan, Dokter Ramelan memanggil Barjo.

“Jo, ini data nama dan alamatnya,” ucap Dokter Ramelan sambil memberi buku catatan pasien. Barjo adalah orang yang ditugasi berkunjung ke rumah-rumah pasien Dokter Ramelan, untuk menanyakan biaya berobat yang dihutang.

Selain membantu di tempat praktik Dokter Ramelan, sehari-hari Barjo bekerja menjaga pomp bensin milik tentara, letaknya di pojok Alun-alun Kota Kudus.

Saat mengunjungi rumah pasien Dokter Ramelan, Barjo mengendarai sepeda onthel kesayangannya.

***

Tok.. tok.. tok..

Barjo mengetuk pintu setelah tiba di sebuah rumah di Desa Mijen, Kaliwungu.

“Apakah benar ini benar rumah Pak Amaruddin?” tanya Barjo dengan sopan.

“Injih, Pak, pripun?”

“Saya diutus Dokter Ramelan untuk menanyakan biaya pengobatan bulan lalu”

“Oh, silakan masuk, Pak.”

“Terima kasih.”

“Ini, Pak. Kebetulan kemarin dapat bayaran kerja dari mencangkul,” terang Pak Udin sambil menyerahkan uang ke Barjo. Setelah usai, Barjo pun pulang.

“Saya pamit Pak Udin.”

“Ya Pak Barjo, titip salam buat Dokter Ramelan.”

Barjo kembali mengayuh sepedanya menyusuri perkampungan di kota Kudus. Dia kembali mencari rumah pasien yang belum membayar biaya berobat. Oleh Dokter Ramelan, Barjo diwanti-wanti agar jangan memaksa. Jika ada pasien yang belum bisa membayar karena tidak mampu, Barjo diminta supaya ramah saat menagih hutang ke rumah pasien.

***

CATATAN: Dongeng ini terinspirasi dari sosok Dokter Ramelan, seorang dokter yang ikhlas mengobati pasiennya di kota Kudus. Meskipun pasiennya tak punya uang untuk membayar. Setelah wafat namanya dikenang sebagai nama rumah sakit di Surabaya: Rumah Sakit Angkatan Laut Dokter Ramelan. Sedangkan, makamnya berada di Komplek Makam Sedomukti Kudus.

Tinggalkan Balasan