Karya

Penjual Tempe yang Mujur

Di sebuah pasar desa berdaganglah seorang kakek tua. Orang-orang memanggilnya Kek Sardi. Kek Sardi menjual tempe. Dia ditemani Banu, cucunya. Dari hasil berdagang itulah mereka mencukupi kebutuhan hidupnya.

Setiap harinya, Kek Sardi berangkat pukul setengah lima pagi. Nanti pukul setengah enam Banu pulang duluan untuk persiapan berangkat sekolah.

Hari masih agak gelap ketika Kek Sardi dan Banu siap-siap berangkat.

Ketika Kek Sardi menata tempenya tiba-tiba wajahnya mendadak berubah.

“Ada apa, Kek?”

“Waduh, Banu. Tempe kita belum jadi.”

“Lalu kita mau bagaimana, Kek?”

“Ya, kita tetap berangkat ke pasar saja. Kalau kita tidak ke pasar, kita tak bisa punya modal untuk membuat tempe lagi.”

Kek Sardi berangkat jalan kaki. Jaraknya sekitar dua kilometer.

Sampai di pasar orang sudah ramai. Kek Sardi menggelar dagangannya. Banu ikut membantu. Tak lama berikutnya para pelanggan Kek Sardi berdatangan.

“Kek Sardi, saya beli tempe,” kata seorang pembeli yang terlihat terburu-buru.

Kek Sardi lalu memberikan bungkusan tempe sesuai pesanan pembeli tersebut.

“Tapi, kakek kasih tahu dulu ya. Tem…..”

Belum sempat menjelaskan kalau tempe Kek Sardi belum jadi pembeli tersebut langsung pergi terburu-buru.

Beberapa menit kemudian datang seorang pembeli dengan wajah judes.

“Kek Sardi, saya beli tempe.”

“Iya. Tapi kakek kasih tahu dulu ya. Tempe kakek belum jadi.”

“Lho, kok bisa seperti itu, Kek?” tanya pembeli tersebut.

“Iya. Ini kesalahan kakek. Kakek minta maaf.”

“Kalau begitu saya tidak jadi beli,” kata pelanggan tersebut. Dia kemudian menuju ke penjual tempe yang lain.

Satu jam berlalu, tempe Kek Sardi masih banyak. Baru satu orang yang mau beli tempe Kek Sardi. Tak berapa lama pembeli itu datang lagi kepada Kek Sardi. Banu berharap orang itu mau beli tambahan tempe lagi.

“Lho, Kek, tadi tempenya belum jadi ya?” tanya pembeli tersebut.

“Iya. Tadi kan kakek sudah sampaikan.”

“Saya tidak mau kalau belum jadi. Ini saya kembalikan. Kembalikan uang saya,” kata pembeli tadi ketus.

Kakek dengan sabar melayani pembeli yang protes itu. Sementara Banu sangat sedih melihat dagangan kakeknya belum laku.

“Kenapa kakek mau menerima tempe itu dikembalikan? Bukankah barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan?” tanya Banu kecewa.

Kek Sardi merangkul cucunya.

“Tidak apa-apa cucuku. Itu berarti belum rezeki kita. Sekarang sudah siang, kamu sebaiknya pulang untuk sekolah.”

Banu pulang dengan wajah sangat sedih. Dia tak tega melihat kakeknya sendirian dengan dagangan yang tidak laku. Sekitar pukul 08.00 dia kembali ke pasar lagi. Ternyata sekolahnya dipulangkan cepat karena guru ada rapat.

Sesampainya di pasar dilihatnya dagangan kakeknya masih banyak.

“Kamu sedih, Banu?” tanya Kek Sardi.

“Iya, Kek. Apakah Kakek tidak sedih?”

“Kakek juga sedih. Tapi kita harus tetap senyum. Pelanggan jangan sampai tahu kita sedang sedih,” nasihat Kek Sardi.

“Kalau seperti ini terus, kita di pasar mau sampai kapan, Kek?” tanya Banu.

“Kita tunggu sebentar lagi. Siapa tahu hari ini ada rezeki buat kita,” kata Kek Sardi sabar.

Semakin siang, pasar kian sepi. Para pedagang, termasuk penjual tempe teman-teman Kek Sardi sudah berangsur pulang. Kek Sardi dengan sabar menunggu dagangannya. Dia berharap Tuhan mau menolong mereka.

Ternyata, ditunggu hingga tengah hari tak ada satu pun yang mau beli tempe Kek Sardi. Mereka tak jadi beli karena tempe Kek Sardi belum jadi.

Karena pasar sudah sepi, mau tak mau mereka harus pulang.

“Ya, sudah Banu, mari kita kemasi tempe kita. Ternyata Tuhan belum mengizinkan tempe kita terjual.”

Kek Sardi kemudian siap-siap menggendong tempenya. Banu juga demikian. Semuanya masih utuh.

Tiba-tiba ada pengendara sepeda motor berhenti mendekati tempat jualan Kek Sardi.

“Masih ada tempenya, Kek?” tanya pemuda yang mengendarai sepeda motor tersebut.

“Masih.”

“Masih berapa?”

“Masih banyak.”

“Kenapa masih banyak, Kek?”

“Orang-orang tak mau beli, karena tempe kakek belum jadi.”

“Kalau begitu kebetulan, Kek. Kami mencari tempe yang belum jadi.”

“Untuk apa?” tanya kakek.

“Untuk kami kirim ke daerah yang terkena bencana, Kek. Perjalanannya jauh sehingga pas kalau tempenya belum jadi. Tempe kakek kami beli semua.”

Tidak hanya dibeli semua, pembeli tadi memberi bonus. Tempenya dihargai dua kali lipat dari harga biasa. Mereka sudah bersyukur bisa menemukan setengah jadi. Sebab, mereka sudah mencari-cari di berbagai pasar selama berjam-jam dan baru bisa menemukannya.

Banu kaget. Karena sangat gembiranya seketika itu dia memeluk kakeknya.

“Terima kasih, Kek, sudah mengajari Banu sabar dan jujur,” kata Banu sambil memeluk erat kakeknya.

Kak Edy

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan