Karya

Sebatang Padi Membangun Istana

Inilah kisah paling menghebohkan di dunia seni modern. Di mana rumah-rumah, gedung, dan istana raja dibangun hanya dengan nada.

TERSEBUTLAH kisah di jaman dahulu, saat piano, guitar, dan alat-alat musik modern lain belum tercipta, hidup seorang seniman bernama Odema. Ia sangat ahli memainkan nada melalui alat musik yang dibikin sendiri dari tumbuhan di sekitarnya.

Setiap hari ia mencari kerumunan massa. Kadang sampai jauh meninggalkan tempat tinggalnya. Setiap bertemu kerumunan, ia gelar tikar bambu, lalu duduk bersila dan mengalunkan nada indah dengan alat musiknya itu.

Kali ini ia meniupkan nada yang belum pernah sekalipun didengar penduduk di situ. Seperti sedang bersiul, ia meniup batang kecil dan lemah yang ditempelkan di ujung lidahnya. Ia menyebutnya sebagai musik “damen”. Alat ini terbuat dari batang padi yang dipotong sependek kuku tangannya. Jika ditiup akan mengeluarkan bunyi seperti suara tonggeret.

Tapi, karena ia meniupkan suara itu dengan nada yang indah, suara tonggeret yang memekakan telinga berubah menjadi lagu yang sangat merdu.

“Aku ingin membangun istana kerajaan hanya dengan nada!” seru Odema kepada para penduduk yang mulai berdatangan.

Hari itu ia mendatangi pasar tidak jauh dari kota di mana Pangeran Satriya Wahana tinggal. Pangeran Satriya adalah keturunan raja terakhir yang masih tersisa dari kerajaan Padi Organa. Raja dan seluruh keluarganya terbunuh oleh Raja Dhaniya dari kerajaan Nagara Asmara. Waktu itu terjadi serangan licik di malam-malam buta tanpa ada permusuhan sebelumnya.

Pangeran Satriya masih tidak mau menunjukkan identiasnya kepada penduduk. Masih banyak mata-mata Raja Dhaniya di wilayah kerajaan yang sekarang sudah dikuasai Nagara Asmara.

“Siapakah yang mengalunkan nada indah itu? Mengingatkanku pada lagu resmi kerajaan Padi Organa setiap melakukan ritual tanam padi,” kata Pangeran Satriya kepada para prajuritnya yang masih setia.

Para prajurit mulai memperhatikan arah angin untuk menebak asal suara itu. Salah satu menerka, “Sepertinya datang dari pasar di ujung desa ini, Pangeran,” katanya.

“Coba datangi pasar itu. Siapa orang itu? Jika dia bukan mata-mata, bawalah menghadapku secara diam-diam,” kata Pangeran Satriya kepada prajurit paling senior.

Diutuslah prajurit senior mendatangi pasar. Tetapi, sesampai di sana, suara itu menghilang tiba-tiba. Yang terdengar suara berisik orang-orang saling bergunjing dan menawar dagangan.

Sambil berpura-pura membeli sayuran, prajurit berbadan kokoh itu menanyakan kepada salah satu pedagang. “Hmmm… Kisanak, apa tadi melihat orang yang meniup suara musik tonggeret di sini?” tanyanya.

Bukannya langsung menjawab, yang ditanya buru-buru menutup barang dagangannya dengan kain seadanya. “Ja.. ja.. jangan Tuan. Saya tidak ikut-ikutan. Saya hanya pedagang sayur, bukan prajurit Padi Organa,” jawab pedagang itu ketakutan.

Prajurit itu makin kebingungan. Ada apa gerangan? “Saya bukan mata-mata. Saya hanya seorang petani,” jawab prajurit itu.

Akhirnya pedagang itu menunjuk tikar kusam yang masih tergelar. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari situ. Kosong tak berpenghuni. Pedagang itu mulai bercerita penangkapan seniman itu beberapa saat sebelum prajurit datang.

“Mengapa dia ditangkap?” tanya prajurit.

Si pedagang mulai mengamati wajah prajurit itu. “Mengapa tuan ingin tahu?” tanya pedagang itu balik bertanya. Takut ketahuan identitasnya, si prajurit langsung pergi meninggalkan pedagang sayur itu tanpa membawa seikat sayur yang sudah dibelinya.

Hari berganti pekan. Sudah sebulan ini suara merdu pemusik “damen” tidak terdengar di kerumunan pasar. Orang-orang mulai saling rindu dan bertanya. Mereka menduga pemusik “damen” itu sudah tewas dibantai bala tentara Nagara Asmara.

Sampai tiba waktu kegemparan terjadi. Sebuah tikar dikebatkan ke udara. Pada kedua ujung tikar itu tangan kekar memegang kuat-kuat. Tergelar tikar di atas hamparan tanah paling kering di atas gundukan.

Bukan pemilik tangan kekar itu yang menginjakkan kaki dan menempatkan pantatnya di atas tikar. Tapi, seorang peniup “damen” yang sebulan lalu disergap mata-mata kerajaan Asmara. Badannya kurus, rambutnya gondrong tak terawat. Ia memandang tajam wajah-wajah ketakutan penduduk yang datang di pasar itu. Pandangan itu seperti mengumumkan bahwa ia tidak tewas seperti yang disangkakan.

Orang-orang mulai bergunjing. Bagaimana mungkin orang yang sebulan lalu ditangkap dan dipukuli oleh mata-mata kerajaan Nagara Asmara, bisa kembali tanpa cacat dan berani meniup terompetnya di sini?

Tangan seniman itu masih memegang bibir. Lidahnya sesekali menjulur, memastikan alat musik “damen” yang dipasang di ujung lidahnya telah terpasang dengan benar. Seniman itu mulai meniup musik “damen”nya. Suara tonggeret kembali berbunyi. Kali ini lebih merdu.

Di sela nyanyian yang merdu itu, ia menyelingi dengan pidato. Sesekali bicaranya bercampur bunyi “tonggeret” dan, keluar bersamaan. Menimbulkan suara yang lucu. Sehingga, sesekali penonton tertawa. Hiburan gratis di tengah kecemasan.

“Aku ingin membangun istana kerajaan hanya dengan nada!” seru Odema lebih keras dari sebelumnya.

Pidato itu bukan saja menggetarkan genderang telinga orang yang mendengarnya, tapi juga meremukkan nyali orang-orang yang masih trauma dengan serangan keji tentara Raja Dhaniya.

Orang-orang mulai pasang kuda-kuda. Siap melarikan diri jika datang segerombolan mata-mata kerajaan Nagara Asmara menangkapi mereka. Tapi, anehnya, bukannya menyingkir, justru makin ramai orang-orang berdatangan.

“Aku ingin membangun istana kerajaan hanya dengan nada!” seru Odema lebih keras lagi.

“Stop! Stop! Berhenti!” Tiba-tiba seorang pemuda menerobos arena. Berdiri gagah dengan tangan kekar memegang segulung kertas berwarna kusam. Rupanya pemuda yang tadi mengebatkan tikar seniman “damen” itu.

“Odema, aku ingin kau menyanyikan lagu ritual “wiwit tanam” padi,” seru pemuda yang tak lain Pangeran Satriya Wahana.

Lagu yang sudah lama hilang, kini terdengar kembali. Sebelumnya, nada dan lagu-lagu yang tercipta di jaman kerajaan Padi Organa, diberangus habis oleh kerajaan Nagara Asmara. Orang bahkan dilarang untuk sekedar bersenandung. Sebab dianggap bisa membangun kembali persatuan kebangsaan Padi Organa.

Menggelegarlah suara musik “damen” memecah udara. Ditiup merdu oleh Odema. Menembus genderang telinga orang-orang di luar berkerumun itu. Merasuk sum-sum tulang belakang, menjalar ke seluruh kuda-kuda kaki laki-laki dan perempuan yang berdiri di situ.

Musik ini seperti kebangkitan kerajaan Padi Organa. Lagu itu mengingatkan kembali para penduduk pada ritual setiap akan melakukan “wiwit tanam” padi.

Pasar yang teduh pagi itu serasa terbakar oleh pidato Pangeran Satriya setelah membuka gulungan kertas yang kusam itu.

“Wahai para penduduk negeri. Aku adalah keturunan kerajaan Padi Organda yang masih tersisa. Di dalam gulungan kertas ini, kalian akan tahu siapa aku dan di mana batas-batas peta kerajaan kita. Aku ingin kalian bangkit kembali. Sadarlah kita sekarang dalam penjajahan Nagara Asmara. Saatnya semua melawan. Dengan nada dan lagu yang dinyanyikan Odema, mari kita bangun kembali istana ini dengan keyakinan dan kekuatan yang tulus kalian semua!”

Pangeran Satriya terus menyalakan obor kebangkitan. Berhari-hari dan pekan mereka membangun kekuatan kembali Padi Organa. Mata-mata dan dan bajingan tengik menyingkir ketakutan. Di saat yang sama kerajaan Nagara Asmara memasuki masa keruntuhan karena kelaliman Raja Dhaniya mempimpin negerinya. Jatuhlah kerajaan Asmara, dan bangkit kembali kerajaan Padi Organa. “Padi Organa Reborn,” begitulah kira-kira.

Dari kejauhan, terlihat lampu-lampu berkilatan menembus istana kerajaan Padi Organa. Pangeran Satriya telah diangkat menjadi raja, dan sangat adil memerintah. Tapi, Odema memilih tetap tinggal di gubug itu menjaga padinya. Ini tanaman lambang negara. Harus ada yang selalu setia menjaga. Katanya.

Samar-samar suara alunan musik “tonggeret” yang merdu terdengar dari gubung di tengah sawah. Daun-daun padi yang mulai berembun dan keluar malai berkilatan ditembus cahaya purnama malam itu. Odema duduk bersila, sendirian. Ia berbisik, “Terima kasih Yang Maha Kuasa. Engkau telah mengabulkan permintaanku. Membangun istana hanya dengan nada dari batang padi ini.”

Jakarta, menjelang ashar, 17 Januari 2019

Salam dongeng!
HA, ODM

Tinggalkan Balasan