Esai

𝗕𝗲𝗸𝗮𝗹 𝗛𝗶𝗱𝘂𝗽 𝗧𝗶𝘆𝗼

Tiyo seperti terdampar di waktu yang salah. Ia sudah mengajukan permohonan visa ke kedutaan Australia. Tetapi, seminggu berlalu, tidak juga ada kabar. Beberapa hari setelah itu ia harus berada di Melbourne untuk sebuah seminar tentang bahasa dan sastra Indonesia.

Ia diundang PPI Australia, organisasi pelajar Indonesia di negeri itu, sebagai narasumber. Ia termuda dari tujuh pembicara, dan hanya dia yang mahasiswa.

Lembaga itu tertarik mengundang duta bahasa Jawa Tengah ini karena aktivitasnya dalam kegiatan bahasa dan sastra Jawa. Sebagai organisasi nirlaba dan lebih sering defisit daripada surplus, PPI tak mungkin bisa menerbangkannya. Maka, cukup dia diundang dengan daring.

Tetapi, semangat Tiyo untuk menginjakkan kaki ke negeri asal Suku Aborigin, itu mendorongnya mengumpulkan uang dengan segala upaya. Dia yakin dengan kemampuan berbahasa dan sastra, host, komika, serta menulisnya bisa mengatasi keempat biaya ini: paspor, visa, tiket pesawat terbang pergi-pulang Indonesia-Australia dan deposit untuk keperluan di sana.

Teman-temannya pesimis, seberapa uang yang bisa dikumpulkan seorang sastrawan muda dalam waktu hanya sebulan? Setelah diperas seluruh usaha, uang yang terkumpul baru bisa untuk menebus paspor dan visa. “Selebihnya akan diurus Tuhan,” katanya, yakin.

Sampai seminar diselenggarakan, visa belum juga keluar. Dia akhirnya menjadi narasumber melalui zoom seperti rencana semula. “Nama saya sangat Jawa. Tidak ada Arabnya sama sekali. Kayaknya tidak pantaslah diduga teroris,” kata dia, bercanda, sambil menunjukkan visa yang keluar seminggu kemudian.

Untuk apa paspor dan visa itu? Ia tidak mungkin terbang ke Australia hanya untuk jalan-jalan. Melancong hanya cocok bagi anak dari keturunan keluarga kaya. Meski begitu dia yakin, suatu saat kedua barang yang sulit didapat itu akan ada gunanya. Dan ada saja jawaban Tuhan atas doanya. Sebuah asosiasi guru bahasa Indonesia di Australia yang tertarik dengan presentasi Tiyo di seminar itu mengundangnya menjadi relawan di kelas bahasa Indonesia.

Di Australia, murid-murid SMA wajib menguasai tiga bahasa asing. Kedekatan geografis dan indahnya Indonesia membuat Bahasa Indonesia menjadi salah satu yang paling digemari.

Satu syarat belum ia penuhi: tiket pesawat. Bagaimana ia mendapatkannya? Ketika PPI mengundangnya, orangtuanya begitu girang. Mendengar anaknya menjadi pembicara saja sudah membanggakan. Apalagi bisa hadir di sana. Luar negeri buat mereka adalah tempat yang antah-berantah.

Kegembiraan itu sekaligus kegelisahan. Bagaimana bisa pergi kalau uang untuk membeli tiket saja tidak punya? Tiket termurah Bali-Merlbourne PP delapan juta rupiah, setara empat bulan pendapatan mereka.

Purwanto, ayahnya, bekerja sebagai kenek bangunan. Meski memiliki kesempatan naik pangkat menjadi tukang, ia tidak pernah mengambilnya. Ia lebih nyaman sebagai orang kedua dalam urusan bangun membangun itu.

Sri Haryanti, ibunya, seorang juru masak yang andal. Warteg milik saudaranya selalu ramai dikunjungi berkat keahliannya. Untuk menambah penghasilan, ia menjadi waitress alias pelayan di warung makan itu.

Pendapatan mereka hanya cukup untuk makan sebulan. Jikapun berhasil diirit-irit, sedikit sisanya untuk biaya sekolah adiknya dan membantu uang kuliah Tiyo di UGM.

Tiyo tidak pernah menanyakan tabungan mereka, apalagi meminta orangtuanya membelikan tiket. Pertanyaan itu hanya akan membuat mereka bersedih. Ia menenangkannya dengan mengatakan, “Tiket sudah ada yang nanggung.” Meski kepalanya berputar setelah menjawab itu. Biarlah mereka bangga dengan kemiskinannya, tetapi tetap bermartabat, pikir Tiyo.

Seperti keyakinannya, melalui cara yang unik Tuhan memilih tiga orang baik yang tidak dikenal sebelumnya menjadi sponsor tiketnya. Ia terbang awal Juli lalu hanya dibekali doa orangtuanya. Mereka tidak bisa memberikan lebih dari doa, karena hanya itu yang mereka punya. Dan Tuhan menjawabnya melalui tiga malaikat itu.

Di Australia, ia membantu siswa SMA berbicara fasih bahasa Indonesia dan berpikir a la Indonesia. Ada banyak kisah menarik tentang anak-anak yang bisa membuat orang-orang Australia tertawa. Suatu ketika, seorang siswa beserta rombongan studinya datang ke Bali dan membeli sepatu baru yang bermerek dengan harga hanya seperempatnya. Ia tunjukkan kepada orangtua dan sahabat-sahabatnya. Mereka dan orang-orang itu tahu sepatu yang dibelinya KW. Ia tetap membelinya hanya untuk menunjukkan betapa bebasnya pemalsuan barang paten di Indonesia. Ia menceritakan kisah itu dengan bahasa.

Di Australia, ada saja ujian bagi Tiyo dan ia begitu shock awalnya. Dia menginap di apartemen ketua asosiasi guru bahasa asal Indonesia itu dan gratis, tetapi tidak untuk biaya makan. Entah salah memahami arti kalimat, “Soal makan, tidak mungkinlah akan kelaparan,” yang diucapkan ketua asosiasi itu, sehingga ia PD saja. Ia mungkin terlalu lugu dan husnudzon, atau ketua asosiasi itu menganggap Tiyo keluarga berkecukupan, meskipun ia sudah mengatakan uang yang dibawanya pas-pasan.

Di Agustus yang panas di Indonesia, musim winter justru menghampiri Australia. Temperatur udara mencapai terendah 2°C. Di sebuah toko amal, ia ditraktir ketua asosiasi itu satu setel jaket dan celana. Toko amal menyediakan barang-barang bekas pakai yang masih sangat bagus. Ini akan membantunya dari suhu dingin. Ia sebetulnya sudah membawa satu jaket musim dingin yang ia pinjam dari kawannya yang pernah kuliah di Eropa. Pembelian gratis itu melengkapi bekalnya.

Tapi, di kamar, saat badan tidak bergerak sama sekali dan tuan rumah meminta heater dimatikan agar tidak melonjakkan biaya listrik yang mahal, membuat badan yang belum pernah mengenal cuaca ekstrim menjadi seperti unggas berdarah hangat yang terjebak di selokan. Ia menggigil dan tak bisa menulis apapun kisah perjalanan yang semula ia janjikan kepada sponsornya. Dua jaket itu, satu pinjaman dan satu lagi yang baru dibelikan, tak cukup membantunya dari menggigilnya badan orang kampung yang baru mengenal winter.

Ujian kedua datang. “Sepatumu terlalu berat. Sebaiknya beli yang kasual supaya mudah dipakai,” saran ketua asosiasi itu. Sama seperti jaket, sepatu yang dia pakai juga asal pinjaman. Sepatu miliknya sudah tidak pantas dipakai bepergian. Bagi dia, itu sudah cukup. Dia biasa mengalah dengan kemiskinan. Dan kerepotan memasang dan mencopot sepatu boat yang berat itu tak pernah dia pikirkan. Sebaliknya, ia justru bangga. Pasti harganya sangat mahal, dan orang-orang Australia tak bisa meremehkan pemuda Indonesia.

Di gerai toko amal itu, ia memilih sepatu yang masih sangat bagus dan bermerek. Harganya hanya 10 persen dari harga baru. Setara dua ratus lima puluh ribu dalam rupiah. Tapi, semurah itu tetap saja mengurangi depositnya karena kali ini sang tuan rumah meminta Tiyo membayar sendiri.

Soal makan, benar ia tidak kelaparan. Tuan rumah sangat baik menyediakan beras. Tapi, harga sayur dan lauk yang terlalu tinggi karena harus beli sendiri, membuat dia harus mengirit dengan mengambil prinsip: lauk hanya pengantar makan nasi. Sebab, kenyang lebih utama daripada kenikmatan.

Dua minggu di sana, uang yang ia bawa semakin menipis. Di sebuah sayembara lisan berbahasa Indonesia, usai acara sidang PBB untuk anak SMA yang disebut Model United Nation, semacam sidang kapitol di Kongres Amerika, Tiyo meminta ijin menggelar basar. Kain-kain batik tulis bermotif kembang parijoto khas Kudus yang dikulak secara konsinyasi dari seorang pengrajin, ia jajakan di depan ruang sidang itu.

Guru-guru membelinya. Laba dari penjualan itu dan selisih nilai dolar Australia atas rupiah menyelamatkan isi dompetnya. Uang itu cukup untuk membeli lauk dan sayur untuk dua minggu lagi dari sebulan tinggal di sana. Isi dompetnya masih bertambah lagi dengan jasa titipan alias Jastip coklat Australia untuk teman-temannya di Indonesia yang ia tawarkan melalui IG.

Ujian-ujian itu datang silih berganti dan sumbernya adalah gaya pergaulan. Antara lain ajakan makan malam dari orang-orang yang dikenal di sana termasuk ketua asosiasi itu. Ia sadar, ajakan itu belum tentu sebuah traktiran. Sekali ia mengikuti dan tak ditanggung, itu berarti harus mengeluarkan uang lebih tinggi dari harga sepatu di toko amal itu.

Satu oase datang ketika seorang gadis asal Indonesia yang bekerja di Australia, mentraktirnya makan malam. Ia juga mengajak keliling kebun binatang dan akuarium ikan laut raksasa. Bersama calon suaminya, Oppie, yang juga cucu salah satu gurunya di kampung, mengajak Tiyo mengenal sebagian kecil Australia.

Tiyo tidak pernah menceritakan kesulitan-kesulitan itu kepada orangtuanya. Begitupun pengalamannya bersama PPI. Pengurus lembaga ini tidak pernah mengucapkan terima kasih, apalagi honor, atas keikutsertaannya sebagai narasumber. Ia hanya menunggu piagam sebagai pembicara yang tidak pernah diberikan meski sudah dijanjikan. Selain foto, selembar piagam itu penting. Bukan untuk dirinya, tetapi untuk ditunjukkan kepada orangtuanya agar mereka bangga.

Perjuangan melawan ketidakpunyaan itu bagi Tiyo bekal yang sangat berharga. Biarlah kisah itu hanya dia yang menyimpan. Ia tahu, orangtuanya akan menerima cerita itu sebagai kesengsaraan. Kisah yang hanya akan membuat mereka sedih karena tidak cukup memberi anaknya bekal.

 

Salam Dongeng!

𝗛𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗔𝗼𝗻𝗶

Tinggalkan Balasan