Esai

Peperangan Muria yang Terlupakan

Patung setengah badan Mayor Koesmanto yang ada di halaman kantor LVRI Kudus menjadi satu-satunya patung di kompleks perkantoran Mejobo, Kudus.

Sosoknya dikenang dalam bentuk karya seni tiga dimensi untuk menghormati jasanya dalam masa peperangan di wilayah Muria yang meliputi Kabupaten Jepara, Pati, dan Kudus.

Namanya muncul di koran berbahasa Belanda ketika Kepala Staf TNI Keresidenan Jepara-Rembang Mayor Munadi mengumumkan bahwa selain Belanda, TNI juga berkewajiban menjaga ketertiban dan keamanan.

Masyarakat diminta untuk melapor jika ada keributan atau kekacauan. Untuk wilayah Kudus dan Jepara wewenangnya dipegang oleh Mayor Koesmanto (De Locomotief: 17 November 1949).

Nama Koesmanto cukup populer di wilayah Muria pada zaman itu. Prajurit asal Surakarta ini dipercaya sebagai Komandan Komando Daerah Muria menggantikan Kapten Ali Machmudi yang gugur dalam satu kontak senjata melawan tentara Belanda di Brekad, Pati.

Sebelum itu Mayor Koesmanto menjabat komandan Batalyon Be VI Divisi II setelah Batalyon 15 Be I Divisi I ditarik ke Cepu. Sejak Agresi Militer, keberadaan Batalyon dipandang tidak lagi efektif. Hal ini kemudian menuntut TNI melakukan perubahan strategi perang, di antaranya dengan membentuk Komando Daerah Muria.

Komando Daerah Muria adalah satu implementasi dari strategi wehrkreise. Secara bahasa istilah yang berasal dari bahasa Jerman ini artinya lingkaran atau daerah pertahanan. Ini adalahsistempertahanan baru TNI yang meniru dari carapasukan Jerman dalam Perang Dunia II.

Dalam sistem ini seorang komandan di wilayahnya diberi wewenang secara luas untuk melakukan pertahanan dan perlawanan. Sebagai komandan, Koesmanto dibantu oleh Letnan Satu R. Soetikno sebagai kepala staf, Letnan Satu Sumarso sebagai kepala seksi I; Letnan Satu A. Yunus sebagai kepala operasi; pembantu Letnan M. Sjarif sebagai sekretaris; dan Letnan Dua Maslam sebagai bagian supply (Lisiyas, dkk.:2009,13).

Dalam implementasi wehrkreise, Markas Besar Komando Djawa yang berkedudukan di Prambanan juga membentuk sistem pemerintahan militer untuk menjalankan pemerintahan sipil. Di wilayah Komando Daerah Muria, Bupati Militer Kudus dijabat oleh Kapten Kahartan yang dilengkapi dengan beberapa asisten wedana militer. Untuk wilayah Pati bupati militernya dijabat oleh Kapten Soewardjo Nitiprawiro, sedangkan wilayah Jepara bupati militernya dijabat oleh Kapten Soedjarwo(Lisiyas, dkk.:2009,13-14).

Mayor Koesmanto, yang patungnya sering kesepian, semasa hidupnya membentuk satu pasukan elite yang dinamai Macan Putih. Nama Macan Putih itu sendiri tidak lepas dari cerita mitologi masyarakat daerah pegunungan Muria, khususnya wilayah Cranggang.

Pasukannya berjumlah 40 orang yang seakan-akan mengingatkan tentang kisah Joko Tingkir di Bengawan Solo saat mencari ayahnya, Kebo Kenanga pada abad ke-16.Di buku Lisiyas disebutkan 40 orang prajurit Macan Putih itu dibagi empat regu yang masing-masing dipimpin oleh Sunaryo (Regu I), Sutoyo (Regu II), Tonaโ€™im (Regu III), dan Wasimin (Regu IV).

Mereka gencar melakukan serangan ke pos polisi perkebunanonderneming wacht(OW), pencegatan kendaraan bermuatan logistikmilik Belanda, serta aksi heroik lainnya. Sasaran kepada OW ini menunjukkan jika pasukan Macan Putih paham mengapa Belanda menguasai pabrik gula.

Perjuangan Tanpa Senjata Modirono Sarbu

Di awal November 1949, De Locomotief, koran berbahasa Belanda yang terbit di Semarang memuat kisah tentang pasukan Belanda di Semarang yang akan pulang kampung ke negeri Belanda. Mereka adalah pasukan 3-7 RI di Batalyon Semarang yang berada di kota ini sejak 1946. Pada September 1947, pasukan ini berhasil menguasai Demak dan pada Oktober dalam tahun yang sama, pasukan ini kehilangan banyak prajurit karena terkena ranjau.

Mulai April 1948 sampai 19 Desember 1948 pasukan 3-7 RI ini diperankan sebagai Divisi Cadangan dan sering melakukan operasi, termasuk menjadi bagian saat Belanda melakukan Agresi Militer II ke wilayah Demak-Kudus hingga ke Cepu.

Dengan kendaraan lapis baja, mereka membombardir area yang dilewatinya. Menang dalamalat persenjataan, pasukan ini hanya mengalami kerugian kecil, yaitu enam prajurit yang terluka ringan. Meski tidak secara spesifik menyebut nama Macan Putih, namun dari cerita mereka dapat diketahui bagaimana aksi-aksi yang dilakukan Mayor Koesmanto dan kawan-kawan (De Locomotief:1949,3).

Mayor Koesmanto memilih wilayah pegunungan Muria sebagai lokasi basis pertahanan karena beberapa alasan. Alasan pertama karena faktor keamanan. Pasukan TNI sudah tidak memungkinkan bertahan di wilayah kotaKudus, Pati, dan Jepara karena kalah persenjataan dari pasukan Belanda.

Alam pegunungan Muria yang memiliki banyak hutan menjadi tempat yang cocok untuk taktik perang gerilya yang membutuhkan banyak tempat persembunyian. Alamnya yang bertebing menjadi tameng alami ketika melakukan pencegatan terhadap pasukan musuh.

Satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah karena faktor ketersediaan air bersih dan logistik. Di wilayah pegunungan Muria hal-hal pokok ini mudah ditemukan, baik yang bersumber dari alam maupun dari bantuan masyarakat setempat. Di sinilah contoh konkret dari kemanunggalan antara alam, masyarakat, dan prajurit TNI.

Di Desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe ada satu warga yang rela rumahnya dijadikan markas Komando Daerah Muria. Rumah sederhana itu menghadap utara dan berdiri di atas tanah seluas 227 m2. Dari sinilah Koesmanto mengendalikan taktik penyerangan walau di rumah tersebut tidak ditulisi sebagai markas komando. Di sini pula Kahartan yang menjabat sebagai Bupati Militer Kudus menjalankan tugas-tugasnya meskipun tanpa perangkat kerja seperti kantor bupati yang berada di kota.

Warga yang merelakan rumahnya dijadikan markas TNI tersebut adalah Modirono Sarbu. Ini adalah salah satu bentuk perjuangan tanpa senjata dari seorang warga desa demi kembalinya kemerdekaan Indonesia, demi tegaknya Merah Putih, atau sedikitnya demi kembalinya PG Rendeng ke pangkuan Bumiputra. Di luar Sarbu banyak sekali masyarakat Muria yang memberi support dalam bentuk lain kepada perjuangan TNI, di antaranya berbentuk bantuan logistik.

Markas Macan Putihpernah mengalami sasaran emosi saat penyerbuan pasukan Belanda. Mereka sangat marah karena menjumpai rumah Sarbu ini sudah tanpa penghuni. Masyarakat menceritakan, Mayor Koesmantodan pasukannya bisa selamat karena mendapat bisikan dari seekor macan agar segera meninggalkan markas karena Belanda akan menyerang.

Pemaknaan Situs Bersejarah

Letnan Kolonel J.M. Koeman dan Mayor C.M. Schilperoord, komandan pasukan Belanda yang maju di medan perang mengakui bahwa mereka mendapat perlawanan sengit saat menerobos Kudus hingga Blora.

Banyak jembatan putus untuk menghambat pasukan Belanda. Pengakuan ini diberitakan di koran berbahasa Belanda. Karena kendala bahasa saya menduga tidak semua pasukan Komando Daerah Muria pernah membaca berita itu sehingga tidak tahu bahwa pasukan Indonesia telah dinilai hebat oleh musuh.

Sayangnya kehebatan ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat, termasuk generasi muda di wilayah Muria. Hal ini tidak lain karena peristiwa heroik ini kurang terakomodasi dalam catatan sejarah nasional dan juga sejarah lokal.

Membaca buku sederhana yang disusun Kodim 0722 Kudus pada 1973, saya menangkap kerendahan hati dari penyusunnya, yang di antaranya adalah Letnan Satu Tonaโ€™im, pelaku sejarah dari Komando Daerah Muria.

Di halaman 22 dalam buku berjudul Sejarah Perjuangan Gerliya Semesta Komando Daerah Muria Kudus itu, penyusun buku ini menyadari bahwa dibandingkan peristiwa lainnya di Indonesia, apa yang dilakukan prajurit Komando Daerah Muria dan Pasukan Macan Putih hanya bagaikan sebuah auman macan kecil.

Setali tiga uang, Modirono Sarbu pun tidak banyak menuntut, baik di aspek popularitas maupun privilige. Keluarganya tetap menjadi orang biasa sepertimasyarakat desa pada umumnya, yaitu bertani dan berdagang. Mereka tidak meminta orang tuanya diberi embel-embel pahlawan meskipun sudah memberikanrumah sebagai kantor bagi pasukan yang menentukan nasib masyarakat sekitar Muria kala itu. Keluarganya juga tidak pernah mengusulkan nama Sarbu diabadikan sebagai nama gedung atau nama jalan. Ini adalah kerendahan hati dari pejuang-pejuang tempo dulu.Begitu juga dengan Mayor Koesmanto. Patungnya diletakkan di area perkantoran yang orang umum jarang sekali melewatinya. Andaikan orang melihatnya pun tidak semua paham siapa dia. Ini semua karena kerendahan hati dari para pejuang yang tergabung dalam LVRI.

Ibarat sebuah produk, Muria pada masa peperangan sesungguhnya produk yang layak jual, tentunya dengan strategi baru. Misalnya kisah ini layak menjadi sumber sejarah dan sumber inspirasi dalam kemasan karya yang disesuaikan dengan zaman terkini. Dengan strategi baru ini gap antara generasi muda dan tua bisa dijembatanisekaligus bertujuan untuk menumbuhkan dan menyuburkan rasa nasionalisme.(*)

Tribun Jateng

Tinggalkan Balasan