Esai

𝗥𝗲𝘃𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶 𝗗𝗶𝗺𝘂𝗹𝗮𝗶 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗗𝗮𝗽𝘂𝗿

Masa kecilku tak seseru remaja ini. Ia tegar bercerita kegagalannya di masa lalu, bahkan lebih absurd, bangga. Eka Setyadi, remaja yang sedang kuceritakan ini, seharusnya kelas tiga SMA. Tetapi, karena kebosanannya terhadap iklim sekolah, ia berontak dan tidak mau masuk kelas. Kebosanannya terus berulang sampai ia tiga kali akhirnya tidak naik kelas dan menjadi murid kelas tiga SMP sekarang.

Eka tidak sedang memperolok sekolah terdahulunya ketika menceritakan berseraknya tindakan perundungan, baik oleh guru, teman maupun kurikulum atas ketidakmampuannya belajar. Ia hanya sedang membandingkan bahwa setahun ini, sejak ia menemukan lingkungan baru yang paham kesukaannya, yang mau mendengar keluhannya, ia berhasil menemukan sendiri jawaban atas kejenuhannya. Iklim sekolah terdahulu yang telah membuatnya merasa menjadi murid terbodoh dan tak pantas dihargai, telah berlalu.

Tidak ada yang menarik dari pelajaran apapun di sekolahnya: pidato gurunya yang tidak dia pahami, ditambah PR-PR yang menindih kepalanya. Semua membosankan. Dan pilihan terbaik bagi kebosanan itu adalah bolos.

Ia mengunci diri di kamar. Tidak melakukan apapun dalam penjara yang dia ciptakan, kecuali merenung, menulis diari, mendengar musik. Mengunci rapat-rapat pintu bagi orang lain dan hanya keluar untuk urusan perut: makan dan buang air.

Ia makin asing dengan kelasnya setiap dipaksa masuk setelah bolos berhari-hari. Karena keterpaksaan itu, ia menjadi makhluk alien yang memandang guru, teman, dan teori-teori pelajaran lebih alien dari dirinya. Hari-hari makin kelabu. Setiap kesalahan muncul dan ia kambing hitamnya, setiap itu pula ia merasa punya alasan untuk meninggalkan kelas. Ia putus asa dan terbersit ingin menghabisi hidupnya.

Apa yang salah dengan anak yang hanya menyukai beberapa pelajaran dan yang lain tidak? Ia suka berhitung, tetapi tidak suka matematika. Mana yang lebih paradoks? Lingkungan dan guru merasa paling benar. Satu-satunya kambing hitam dari kesalahan itu adalah anak, manusia terlemah yang dipaksa dijuluki binatang.

Sampai seseorang mengenalkan keluarganya dengan Omah Dongeng Marwah (ODM), ia mendaftar di sini dan mulai beradaptasi. Teman-teman baru menyambutnya tulus. Beberapa bulan setelah itu, sebuah revolusi datang. Suatu hari temannya mengajak untuk mendokumentasikan kesukaannya pada masakan. Di dapur, tepatnya pantry, ia menjadi chef. Menjelaskan tentang ramuan masak dan memperagakannya sampai selesai. Sejak itu, ia menemukan kembali dirinya sebagai aktor tak saja di video pendek itu, sekaligus dalam kehidupannya.

Dari masak ia beralih ke puisi, cerpen — yang belum diselesaikannya, lalu film. Di musim liburan lalu, ia baru saja menyelesaikan sebuah film untuk program Kemendikbud dengan teman-temannya. Ia suka membaca dan menulis puisi dan bertemu dengan para penyair. Dia dan keluarganya agaknya harus berterima kasih pada puisi. Seni yang membuatnya berenang mengalirkan ekspresi, mengenalkan pertama kali padanya sikap berhalus budi, menumbuhkan kembali rasa percaya diri, setelah lingkungan menghargai pilihan hidupnya untuk menggeluti apapun termasuk menyukai puisi.

Kebosanannya kini beralih. Ia justru jenuh di rumah dan di tempat-tempat yang dulu menjadi ruang pelariannya. Ia memilih berlama-lama di sekolah barunya, ODM, berkarya dan berkreasi apapun. Jika kami tidak mengusirnya pulang, ia akan menjadikan tas sebagai bantal dan poster sebagai selimut.

Apa yang menarik dari ODM, kelas yang tak berbangku, hanya alas karpet, sebuah kipas angin dan satu papan tulis, baginya? “Saya menemukan duniaku di sini,” kata Eka.

Selamat Hari Anak Nasional
Salam dongeng!

Tinggalkan Balasan