Esai

Ada Barongan di Hari Lebaran Ketupat

“Lebaran Ketupat” tiba! Anak-anak Omah Dongeng Marwah (ODM) tampil memainkan seni barongan untuk kali kedua pada perayaan lebaran ketupat yang diadakan Pemerintah Desa Purworejo, Kec Bae, Kudus, Minggu, 2 Juli 2017.

Lebaran ketupat adalah tradisi masyarakat muslim Nusantara yang diperingati seminggu setelah Hari Raya Iedul Fitri.

Perayaan ini dipusatkan di lokasi wisata sumber mata air Sendang Jodo. Jarak sendang itu dari sanggar ODM hanya sepelemparan batu orang dewasa.

Pertunjukan barongan agak mirip seni Barong, atau Barongsai, tetapi beberapa adegan dimodifikasi disesuaikan dengan kultur setempat.

Memainkan seni barongan bagi anak-anak usia SD dan SMP cukup melelahkan. Bukan saja karena perangkat yang dibawa keliling cukup berat untuk ukuran anak-anak, juga karena durasi waktu pertunjukan yang cukup panjang, dua sampai tiga jam.

Membayangkan ini saja seharusnya mereka tak tertarik. Tetapi, semangat dan rasa senang memainkan pertunjukan ini membuat peluh dan rasa lelah tak lagi mereka rasakan.

Tiga tahunan lalu, ketika pertama kali di depan publik mereka memainkan barongan sebagai seni permainan anak-anak, mereka masih duduk di kelas 4 sampai kelas enam SD. Memainkannya sebagai seni penggugah sahur saat Ramadhan, atau pengisi keramaian di kampung setiap 17 Agustusan.

Meski belum kenal koperasi, mereka sudah mengelola uang secara bersama. Dari hasil “ngamen” (begitu mereka menyebut) berkeliling kampung,  mereka kelola uang yang terkumpul untuk membeli alat-alat sederhana seni barongan. Dengan uang itu pula mereka menyewa komponen barongan yang belum mereka miliki.

Dengan belajar dan mempraktekkan seni barongan, mereka telah melampaui satu-dua tantangan: “Kerumitan” belajar pakem seni tradisi dan pilihan sadar dipandang “tidak-modern” oleh teman-teman sekolahnya, di tengah teman-teman mereka asyik ber-game ria atau menonton lagu dan film karya orang lain.

Kini mereka sudah kelas satu sampai kelas tiga SMP. Tangan mereka pun sudah lebih besar dan kuat dibanding tiga tahun lalu. Selain terbiasa bekerja mencari pasir di Kaligelis selepas sekolah di belakang rumah mereka, fasilitas pelatih dan tempat untuk bermain barongan di ODM juga turut menunjang permainan mereka menjadi lebih layak tonton sekarang.

Mereka menamakan grup kesenian itu dengan “Putra Budaya”.

Menonton sambil Menarik Bir!

Tiga tahunan lalu itu, saat momen 17-an tiba, anak-anak meramaikannya dengan mendirikan bambu, yang  “lugut” dan buku-bukunya mereka bersihkan, menyulapnya sebagai pinang yang layak dipanjat anak-anak. Dengan seluruh badan bambu mereka lumuri dengan oli bekas, bambu yang sudah tegak berdiri itu kini layak mereka sebut sebagai panjat pinang.

Mereka meminta orang tua mendirikan bambu itu, dan kalau mereka tak mau, uang tabungan yang mereka miliki bisa untuk menyewa dan membayar tenaga orang dewasa untuk mendirikan bambu tersebut.

Dengan uang itu pula mereka belanja makanan dan minuman serta mainan anak-anak untuk digantung di pucuk “pinang” sebagai hadiah bagi pemanjat yang beruntung.

“Jogleng! Jogleng! Jogleng!” Musik barongan mulai ditabuh bertalu-talu, ditingkahi pertunjukan macan dan jaranan kepang, pertanda anak-anak lain berkumpul dan mendaftar sebagai peserta panjat “pinang”.

Pertunjukan ini menarik orang tua mereka dan orang-orang dewasa menonton. Mereka mulai menarik kursi dan meja dari dalam rumah ke pekarangan, dan bersama tetanggannya menonton pertunjukan gratis dari dan oleh anak-anak untuk semua.

Dalam kotak snack yang diedarkan anak-anak ke seluruh penonton, orang-orang dewasa menaruh uang receh sebagai “saweran”.

Hal mengejutkan terjadi. Selain menarik kursi dan meja, orang tua mereka juga menarik botol-botol bir dari warung tetangganya, menaruhnya di atas meja, mencabut tutupnya, menuangkan, dan menenggaknya sambil tertawa terbahak-bahak melihat pertunjukan lucu anak-anak yang terpeleset jatuh dari “pinang” bambu yang licin itu.

Hmmmm… Dahsyat banget, ya? Tentu ini bukan “tontonan” yang mendidik. Tapi, demikianlah tradisi masyarakat di sekitar anak-anak barongan itu setiap berkumpul menyaksikan pertunjukan.

Bagaimana sekarang? Mereka tak sevulgar itu lagi. Mereka sudah mulai merasa malu sendiri setelah anak-anak mereka rajin berkumpul dan berkarya  bersama ODM, juga setelah anak-anak mulai rajin mengaji di musholla di sekitar tempat tinggal mereka.

Bahkan, kata Pak Edy Supratno, kepala ODM yang rumahnya berada di tengah-tengah mereka, suatu kali pernah berujar, “Anak saya sekarang kalah rajin dibanding mereka mengaji di musholla,” katanya, tersenyum.

Teruslah berkarya, anak-anakku. Salam Dongeng!!!

Tinggalkan Balasan