Karya

[Cerpen] Bakiak

Suara bakiak terdengar setiap pagi. Iramanya mengikuti dentang jam dinding Junghans yang dipasang di ruang tengah. Menggema di rumah yang jarak antara lantai dan langit-langitnya tinggi. Di depan musholla kecil rumah itu suara itu berhenti. Abah, pemakai bakiak itu, menunaikan tahajjud dan bergilir setelah itu mengunjungi salah satu dari tiga kamar isterinya. Gus Qirom menandai suara itu sebagai alarm. Setiap bakiak berbunyi, ia terbangun dan memburu. Telapak kaki tak beralas berlari antara ingin tahu dan takut. Abah menyambut Gus Qirom. Anak usia tujuh tahun itu digendong dan didudukkan di samping sajadah. Ketika Abah memasuki kamar lain, ia kembali ke kamarnya dan menelusup di bawah ketiak ibu. Ibunya isteri tertua Abah. Anak sekecil itu mulai paham arti kunjungan Abah ke kamar-kamar itu. Suatu ketika usai tahajjud Abah mengunjungi kamar ibunya. Ia diminta tinggal di musholla membaca al-Qur’an. Pagi sebelum shubuh ibunya keramas. Siklus kunjungan Abah dan basah rambut ibunya memahamkan Gus Qirom tentang hubungan Abah dan isteri-isterinya. Abah sengaja memesan bakiak dan memakainya khusus menjelang tahajjud. Saat dipakai bergegas, suaranya bagai orkestra tongtong yang menggugah. Ia sekaligus misteri bagi isteri-isterinya. Ke kamar mana suara bakiak mendekat, di situlah penghuninya dikunjungi. Demikian penghuni kamar yang lain akhirnya tahu. “Mengapa Abah hanya setiap pagi memakai sandal beralas kayu ini?” Gus Qirom bertanya. Ia mendapat jawaban flanking, “Supaya kamu biasa bangun pagi.” Pertanyaan itu selalu diulang-ulang. Seperti pertanyaan kepada ibunya suatu ketika, “Umi, mengapa aku punya banyak ibu?” tanyanya lugu. Ibunya tersenyum. “Nanti besar kamu akan paham, Nak.” Ketika tumbuh remaja, ia tak lagi bertanya. Ia bahkan tak mendengar lagi suara bakiak. Ia mulai tinggal di paviliun. Di kanan kirinya guru-guru madrasah yang masih lajang ditempatkan. Sejak itu, ia lebih sering mendengar suara lalu-lalang sandal daripada bakiak Abah. Tinggal di lingkungan pesantren puteri menjadikan ia seperti pangeran pondok. Ia dipanggil “Gus”. Sebutan untuk anak lelaki kiai dan pantas disematkan pada Gus Qirom yang tampan. Perawakannya tinggi seperti Abah. Ia mulai berkumis. Berbaris rapi di atas bibir bagai lukisan ilalang. Bola matanya bulat seperti kuntum mawar sedang merekah. Rambutnya tergerai disapu angin sisa pesta putik di atas rumpun kembang di depan paviliun. Bunga-bunga bunting dan bermekaran menyambut matahari. Seharum bunga-bunga itu, Gus Qirom mulai suka memakai wewangian. Tak seorang pun tahu ia sedang jatuh cinta. Perasaan itu tak pernah diungkapkan kecuali melalui diary. Banyak santri puteri yang tertarik. Ia tak memberi reaksi kecuali kepada satu yang istimewa: Wilda. Memendam cinta dalam kamar dengan saudara-saudara lain itu penderitaan. Ia tak bebas menulis diary bahkan hanya puisi. Sebaris kalimat mewakili perasaannya pada Wilda: “Love is like a cup of coffee, which keeps me ready always night”. Di bawah sebaris itu ia lukis kaligrafi dalam Bahasa Arab yang disamarkan: “Wilda, anti qohwati”, Wilda, engkau kafeinku. Sejak tumbuh cinta, ia terjangkit imsomnia dan mengobatinya dengan menulis diary. Ketika makin paham fungsi terompah abahnya, ia menulis khusus dalam diary-nya dan diberi judul “Misteri Bakiak”. Satu yang cukup berani, ia menulis gemuruh hatinya soal poligami. Ia diam-diam mematri rasa cemburu. Abah tak punya waktu cukup untuk dia dan adik-adiknya. Setidaknya menurut mereka. Tiga keluarga besar dalam satu rumah seluas apapun terasa sempit. Ia menolak konsep poligami karena itu. Ia meyakini prinsipnya sambil terus menguji: mungkinkah kelak sebagai kiai ia tak mengikuti jejak abahnya?Wilda tahu perasaan Gus Qirom dari Siti. Gadis itu sering mencuri kisah diary dan menemukan nama Wilda yang disamarkan. Siti, adik kandung Gus Qirom, diam-diam membocorkan rahasia itu kepada sahabat sekelasnya Wilda. Wilda girang, tetapi juga takut. Ia tak mau dimadu seperti isteri-isteri Abah. Siti menceritakan ketakutan Wilda. Gus Qirom terperanjat. Dari mana Wilda tahu perasaannya? Ketika akhirnya terpergok, pencuri itu melarikan diri dan tertawa cekikikan. Cinta terlarang bagi santri dalam tradisi pondok mulai terbongkar. Pikirannya mulai berkecamuk. Bagaimana kalau Abah tahu ia jatuh cinta pada santrinya? Bahkan terhadap tulisannya tentang misteri bakiak dan sikap penolakannya soal poligami? Ustadz Subur cemas. Gus Qirom mulai berani terbuka mengungkapkan pendapatnya. Di forum kajian khusus, Gus Qirom bertanya menyala-nyala. Kata-katanya seperti bara api disiram kerosin. Kitab kuning yang lusuh itu serasa terbakar. Bab poligami menghabiskan hampir semua waktu. Ia tak cocok dengan Abu Syuja, pengarang kitab “Al-Ghayah wa At-Taqrib”, yang biasa dikaji santri secara terbatas. Bagi santri progresif seperti Gus Qirom, Syuja terlalu moderat. Keadilan membagi waktu dan pendidikan lebih penting menurutnya daripada alasan kesunnahan lain. Kelusuhan kitab beralih ke kepala Ustadz itu. Urat-urat mukanya menegang. Keringat dingin keluar bercucuran. Angin sudah tertahan tembok, mengapa dinginnya masih menghempas? “Maaf, Gus, sebaiknya diskusi hukum poligami kita lanjutkan sendiri saja,” ujar ustadz itu. Ia kuatir abahnya tersinggung. Alasan sesungguhnya, karena ia sendiri beristeri dua. Perdebatan itu laksana Perang Tabuk, dan Ustadz Subur adalah Heraklius dari Romawi yang lari terbirit-birit meski sudah mengerahkan ratusan ribu tentara. Siti sangat berjasa. Hubungan cinta diam-diam Gus Qirom dan Wilda tak terendus Abah sampai mereka dewasa. Hingga Abah sakit-sakitan dan makin tak berdaya, Gus Qirom baru menyampaikan niatnya melamar. Pernikahan itu akhirnya terjadi. Mereka menikah pada seratus hari wafatnya Abah. Pernikahan dengan pesta kembang api dan gema tadarus oleh ribuan santri pondok.Gus Qirom memimpin pondok itu menggantikan abahnya. Isteri-isteri Abah beserta anak-anaknya dibuatkan rumah tersendiri di lingkungan pondok. Sedang, ibunya masih tinggal di rumah induk. Satu yang dianjutkan dari tradisi abahnya adalah tahajjud. Ia mulai terbiasa memakai bakiak yang dulu dipakai Abah. Kaki Abah lebih besar. Karet penjepit jari-jari kakinya terasa longgar. Membuat bakiak berdentang lebih kencang dari lonceng jam dinding di rumah itu. Teringat masa-masa gembira, juga cemburu. Tak seperti Abah, usai tahajjud ia mengunjungi hanya satu kamar. Kamar Wilda, bidadarinya yang kini menjadi Bu Nyai. Ia baru mengerti dilema menghadapi hukum poligami ketika wali santri janda menghadapnya. Ia baru saja ditinggal mati suaminya. Selain shaleh, ia cantik dan muda. Membuat malu tiba-tiba penentangannya terhadap Abu Syuja dan Ustadz Subur. Pandangan moderat soal poligami dalam Kitab “Taqrib” yang ditentang dulu. Jejak itu menjeratnya. Kata-kata ibunya menggema lagi, “Nanti besar kamu akan paham, Nak.” Ia mulai paham bukan sebagai anak, tetapi sebagai lelaki dewasa. Tapi, bagaimana memahamkan ustadz-ustadz itu terutama isterinya jika ia jadi meminang sang janda? Dilema itu benar-benar datang. Hingga usia perkawinan kelima, Wilda tak memberi keturunan. Wilda mulai lentur dengan sikapnya. Ia memerdekakan Gus Qirom meminang isteri kedua, entah janda itu atau alumni santrinya. Ia tak mau menampakkan diri sebagai perempuan lemah, meski di kamar ia menangis sesenggukan. “Ya Allah, berilah aku kerelaan.” Gus Qirom masih bertahan. Ia bukan tak mau melunak. Ia masih menjaga perasaan isteri dan ibu yang dicintainya. Dua anak yatim yang kini tinggal di rumah itu memutar sejarah. Mereka anak-anak pungut keluarga kiai muda itu. Mendengar dentang bakiak, anak-anak itu terbangun dan memburunya. Ibu Gus Qirom mengawasi. Setidaknya sampai malam itu anaknya masih konsisten mengikuti tradisi Abah memakai bakiak. Cukup sebagai penanda shalat, bukan penanda kunjungan ke kamar-kamar lain yang berbeda. Memang tak ada isteri lain. Entah nanti, ketika mulai menyerah dan kalah.Kudus, 17 September 2020

Tinggalkan Balasan