Karya

[Cerpen] Bercak

Cerpen Hasan Aoni
Persetubuhan itu akhirnya terjadi. Ini malam pertama bagi Dulah dan kesekian kali bagi Imah. Dulah harus menunggu seminggu sejak akad nikah di tengah hujan badai malam itu. Imah datang bulan. Tetapi, ketika malam pertama yang ditunggu datang, bercak darah perawan yang ditunggu dengan hati berdebar itu tak pernah terjadi.
“Jangan serampangan seperti hewan. Perempuan di malam pertama akan sakit dan mengeluarkan darah perawan,” pesan neneknya. Ini pelajaran seks pertama yang diterima Dulah.
Pesan itu menancap di kepala Dulah. Pemuda desa itu tak pernah mengalami masa pacaran. Berkenalan dengan Imah usai mengantar gadis itu berbelanja, tiga bulan kemudian menikah. Cepat sekali prosesnya.
Imah belum mengenal desa itu sejak memilih menetap dan meninggalkan kota kelahirannya yang suram. Ia membeli rumah mungil di dekat pangkalan ojek dan menempatinya sendirian. Sejak Imah menempati rumah itu, Dulah sering datang lebih pagi. Sasarannya tentu Imah. Ia antar gadis itu ke pasar setiap pagi. Sejak perkenalan itu, ia tak saja mengantar membeli sayur, juga mengantar ke kantor penghulu mendaftarkan dirinya dan Imah menikah.
“Kamu sudah yakin dengan gadis itu, Dul?” tanya neneknya. Dulah mengangguk. Dulah lebih memilih Imah daripada gadis lain yang sepantar. Imah lima tahun lebih tua. Apalah arti umur bagi Dulah. Imah selain baik, juga mandiri. Dua kelebihan itu tak ditemukan pada gadis lain di desanya. Rasa cinta itu telah mengunci rapat pintu hati Dulah, bahkan bagi Entin, teman sekolah sekaligus anak Komar, ketua pangkalan ojek itu.
Dengan modal yang dimiliki Imah dan tambahan tabungan Dulah, pasangan muda itu membuka kios kelontong. Jika dagangan sedang sepi, Dulah memutar roda motornya, mengojek. Langganannya tukang sayur. Mereka suka menyindir, lebih tepatnya iri, pada Imah yang berhasil menggaet Dulah. Dulah hanya lulus SD. Tapi, kesalehan dan ketekunannya bekerja bikin banyak orangtua di desa itu ingin mengambilnya mantu.
Dulah tinggal bersama neneknya sejak kecil. Ia anak kelima dari tujuh saudara. Neneknya mengasuh Dulah untuk meringankan beban orangtuanya. Ia sendiri miskin. Bersama suaminya, Nenek menjadi petani di desa. Sejak Dulah tak mau meneruskan sekolah, Nenek sering mengajak Dulah ke sawah. Hasil dari sawah dikumpulkan dan dibelikan motor. Kelak motor itu menjadi mata pencaharian Dulah.
Gerimis masih mengguyur rumah di pinggir pangkalan ojek itu. Petir sesekali menyambar. Cahayanya berkilatan menembus kisi jendela. Di sebuah kamar yang bau catnya masih menyengat itu, Dulah gelisah. Imah lebih-lebih. Mereka baru saja terkapar. Dulah menutup bagian bawah tubuhnya dengan sarung. Ia segera membalikkan badan menatap tembok, sambil diam-diam memegang kemaluannya tanpa diketahui Imah. Ia menarik dua jarinya ke dekat matanya dan memerhatikannya dengan seksama. Tak ada bercak merah seperti yang diceritakan neneknya. Tetapi, ia mulai ragu. Lampu kamar itu memancar remang-remang.
Imah terlentang menghadap langit-langit kamar. Ia masih telanjang. Lampu kamar itu meski redup masih memantulkan kegelisahan. Ia sangat bahagia malam itu, tetapi sekaligus takut. Ia memilih tinggal di desa itu dan menerima Dulah yang shaleh sebagai suaminya supaya bisa mengubur masa lalunya.
“Kang, aku bahagia sekali malam ini,” ucap Imah sambil menyampirkan tangannya di pundak Dulah.
Dulah pura-pura tertidur. Imah tahu dan sangat hapal kebiasaan laki-laki yang tidur usai bersebadan. Ia tak butuh jawaban Dulah sekarang. Ia hanya ingin memastikan Dulah tak tahu ia sudah tak perawan. Dulah kebablasan tidur dan mendengkur keras. Iramanya bersahut-sahutan dengan lengking bangkong kimpul di kolam sampah belakang rumahnya.
“Nek, apa perawan tidak mesti keluar darah setiap melewati malam pertama?” tanya Dulah.
“Maksudmu, isterimu sudah tidak perawan?” Nenek balik bertanya.
“Kata Nenek gadis mengeluarkan darah setiap melewati malam pertama,” jawab Dulah.
Nenek kehilangan kata-kata. Ia terpaksa berbohong. “Dulu teman nenek juga begitu. Tidak mesti keluar darah,” jawab Nenek.
Dulah tak pernah menanyakan perihal itu kepada Imah. Ia mencoba tenang setiap akan berhubungan badan. Tapi, tetap tak bisa menutup kecanggungannya. Dan Imah sebagai orang yang berpengalaman sangat tahu kegelisahan suaminya. Sampai suatu ketika datang kabar yang mengusik pasangan muda itu.
Dulah baru saja masuk rumah. Imah belum pulang dari pasar. Ia hendak merebahkan badannya di sofa ketika tiba-tiba dari luar pintu rumahnya diketuk. Seorang berbaju gamis dan berjenggot lancip memerkenalkan diri.
“Apa betul ini rumah Imah?” tanya tamu itu.
“Ya, betul, saya suaminya. Saudara ada kepentingan apa?” Dulah balik bertanya.
Lelaki itu menjelaskan hubungannya dengan Imah. Bagai disambar petir di siang bolong, Dulah kaget bukan kepalang dan hampir pingsan. Betulkah lelaki ini saksi nikah sirri Imah dengan ketua perkumpulan pengajian itu? Mengapa Imah tidak menceritakan sebelum mereka menikah? Mengapa lelaki itu mencari Imah?
Jalan menuju lokasi perkumpulan pengajian itu cukup jauh. Melewati pegunungan terjal, rimbun hutan jati dan ilalang. Dulah mengikuti saja laju motor di depannya. Ia sangat akrab dengan suasana desa, tetapi menuju lokasi ini rasanya sunyi dan terpencil. Tengah malam Dulah sampai di padepokan itu.
Laci di lemari ruang tamu orang yang akrab dipanggil ustadz itu penuh materai dan kertas leges. Sebagian masih kosong, sebagian berisi perjanjian nikah. Usia ustadz itu sekitar 50 tahun. Setengah lebih dibanding umur tamunya. Wajahnya tak bersahabat, bibirnya komat-kamit mengucapkan lafadz-lafadz Allah. Tubuhnya gembrot, mengingatkan siapapun yang melihatnya seperti Abu Abdul Bari, petinggi ISIS berjuluk Jabba the Jihadi (Jabba si Jihadis) dari Mosul, dekat sungai Tigris, Irak.
Ustadz itu mengambil sehelai di antara tumpukan kertas itu dan menyerahkan kepada tamunya. Dulah, sang tamu itu, membaca dengan seksama surat perikatan nikah Imah dengan ustadz itu. Lalu pulang membawa fotokopi surat itu.
Imah baru saja selesai datang bulan. Nafsunya menggebu-gebu. Dulah belum juga pulang malam itu. Mungkin suaminya masih ngojek, pikir Imah. Ia menata sprei bermotif bunga dan menyemprot wewangian di atasnya. Sekuntum bunga yang dipetik sore tadi berdiri tegak dalam vas yang bagian bawahnya berisi air. Bertengger di atas meja di pojok kamar. Subuh nanti jika Dulah pulang, Imah ingin mengajak suaminya bersenggama.
Ia sengaja memilih lingerie warna pink untuk mengugah gairah Dulah. Sebagai orang kota, sesekali ia mencoba menawarkan selera seks kelas menengah kepada suaminya supaya percumbuan mereka bervariasi. Ini cara Imah supaya suaminya tak menoleh perempuan lain.
Ketukan pintu terdengar persis ketika adzan subuh dari masjid 100 meter jaraknya dari pangkalan ojek berkumandang. Imah bergegas. Dulah masuk dengan wajah kuyu. Bau asap bensin mengintimidasi suasana romantis di bekas kamar pengantin itu. Dulah bergegas ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Imah menyusul. Mereka berjamaah subuh setelah itu.
Imah memeluk Dulah usai berdoa. Ia sudah melepas mukena dan tampak pakaian kebesarannya seperti yang dikenakan waktu malam pengantin dulu. Dulah hanya diam. Ia mulai gelisah. Dadanya berdegup seperti menahan amarah. Lalu berdiri dan mengambil lipatan kertas fotokopi dari jaketnya dan menyerahkannya kepada Imah.
Imah berkernyit membaca. Mukanya pucat. Ia lemas dan pingsan seketika. Surat itu telah mengingatkan kembali masa-masa penderitaannya. Ia dipaksa menikah dan dilatih meracik bom setiap hari. Sebagai lulusan kimia, ia terjebak di padepokan itu. Niatnya memerdalam ilmu agama, mengikuti teman di kampusnya yang sudah lebih dulu diperisteri ustadz itu, malah terjerat. Ia sadar menjadi budak nafsu ustadz itu. Ia sampai harus putus hubungan dengan orang tua dan pacarnya. Ia tak bisa keluar. Padepokan itu seperti penjara baginya. Pernah berusaha melarikan diri, tetapi tertangkap dan kembali tinggal di sarang penyamun itu.
Sampai suatu ketika berhasil meloloskan diri dengan alasan membeli bahan-bahan ledakan yang tidak semua orang di padepokan itu tahu. Ia menyelinap dan berhasil meloloskan diri. Pergi sekencang kaki berlari. Lima tahun ia bekerja di lab perusahaan asing. Tempat itu selain menjadi persembunyiannya, juga ladang mengumpulkan uang untuk membangun sejarah kehidupan barunya. Sampai akhirnya ia bertemu Dulah dan menikah.
Imah menceritakan itu kepada Dulah usai siuman. Dulah duduk termangu. Bingung antara percaya dan tidak. Ia sangat mencintai Imah. Teringat tiba-tiba kisah malam pertama yang menggetarkan hatinya gara-gara pesan neneknya dan ternyata tak pernah terjadi itu. Kini ia tak butuh bercak darah itu. Ia hanya butuh kejujuran isterinya.
Tapi, kisah sebercak darah yang semula ia tak tahu itu kini lebih dari peristiwa malam pertama. Ustadz itu telah merenggut haknya dan ia harus membela perempuan yang telah diperlemah sepanjang usia mudanya. Dulah masih berpikir keras antara melindungi isterinya atau membalas ustadz itu. Ia memeluk isterinya. Di atas kasur bermotif sprei bunga itu semua berawal dan berakhir. Keputusan Dulah akan menentukan nasib perempuan cantik, yang gegara kasus itu ia tahu keterdidikan dan ketinggian martabat isterinya.
Subuh berlalu, dan keputusan akan segera ditetapkan setelah itu.
Kudus, 11 September 2020
(Dimuat di Suara Merdeka, 20-09-2020)

Tinggalkan Balasan