Karya

[Cerpen] Rahtawu

Cerpen Hasan Aoni
Siapa yang mendaki Rahtawu dan memutar wayang di atas bukit itu, ia sesungguhnya sedang berkomplot mengundang bencana. Kepercayaan ini menyebar. Anehnya, makin sering terjadi bencana, makin penasaran orang-orang dari penjuru kota datang.
Seratus meter ketinggian bukit itu dari kaki lembah, menjulang tegak di pegunungan Muria yang mistis. Lebih dari sekedar rasa ngeri, kelokannya merongrong semua pendaki yang melintas.
Di bukit itu sebulan lalu Madinu menyatakan cinta. Diyah tertegun. Ia tak menyangka secepat itu. Bukan pertama kali ia menerima pernyataan cinta dari lelaki dan selalu kandas menjelang lamaran. Tetapi, kepada lelaki ini, penolakan ayahnya rasanya bisa bikin gila. Ia ingin sore ini Madinu menyatakan kembali cintanya. Madinu memenuhinya lebih dari yang diharapkan. “Aku ingin melamarmu, Diyah.”
Diyah terperanjat antara senang dan cemas. Ayahnya tak boleh tahu hubungan mereka sebelum prahara di desanya reda. Apalagi mendengar niat Madinu melamar. Diyah tersenyum getir dan memalingkan muka ke dasar bukit. Bentangan tanah serupa delta berwarna coklat dan retak menghampar di bawah. Sungai-sungai kecil mengalir di dekatnya. Pada retakan itu tatapan Diyah tertumbuk bagai bebatuan runtuh.
“Bagaimana kalau Ayah tak setuju?”
“Biar aku jelaskan.”
“Apakah keyakinan bisa dijelaskan? Kecuali Mas rela menjadi golongan kami,” kata Diyah.
Sejoli yang sedang gelisah itu terantuk pandang pertama dalam debat sengit tentang bid’ah. Dua golongan saling beradu alasan hingga larut malam di masjid besar desa itu. Lidah mereka tajam dan saling menghunus, lebih dari lancip ujung belati.
Orang-orang muda itu teman sekolah sepuluh tahun lalu. Tetapi, perbedaan keyakinan dalam pemutaran wayang dan rencana penutupan situs telah membelah persahabatan mereka. Yang setuju penutupan hampir memenangkan debat. Tetapi, Madinu segera menghentikan perdebatan demi kedamaian desa itu. Pandangannya moderat dan bisa diterima, meski tidak ada keputusan apapun soal khilafiyah itu.
Sejak itu Diyah simpatik. Ia selalu mengingat Madinu dalam sadar maupun mimpi. Lelaki yang kini menjadi mahasiswa dan tinggal di kota itu selalu memantik buluh perindu. Pernah saking rindunya suatu ketika Diyah memberanikan diri mengirim pesan bernada cemas. “Mas, apa tidak kamu perhatikan dampak perdebatan itu? Masjid sudah mulai ditinggalkan jamaah. Aku kuatir anak-anak muda makin jauh dari masjid,” kata Diyah.
Ayah Diyah berjasa besar membantu pembangunan masjid itu. Ia juragan tambang batu dan penampung log kayu. Ayahnya tak setuju wayang dipentaskan. Keyakinan itu sebetulnya sejalan dengan kepercayaan warga. Tetapi, ketika ia meminta situs-situs petilasan dewa-dewa dalam kisah perwayangan di Rahtawu ditutup dari kunjungan wisata, warga mulai menjauhi. Wisata itu bagi ayahnya hanya mengundang orang-orang kota datang dan mengritik usahanya menambang bukit.
Situs-situs itu dipelihara tak saja sebagai tempat wisata, juga keyakinan. Wayang sudah lama mati sejak dipercaya memicu bencana. Namun, epos Mahabhata di puncak itu selalu hidup. Situs-situs itu dipercaya sebagai jejak spiritual, mulai Klampis Semar, Eyang Abiyoso, sampai Eyang Gajahmada. Ditaburi setiap Jumat bunga-bunga dan doa di tengah gulungan asap dupa berbau kemenyan.
“Warga tidak setuju sikap keras ayahmu. Bagaimana caraku menjelaskan soal ini?” tanya Madinu.
“Jangan! Itu hanya akan memperburuk hubungan kita. Ayah kecewa Mas menghentikan debat kemarin, meskipun saya mendukung,” kata Diyah.
Matahari perlahan tenggelam. Angin sepoi-sepoi menerpa ujung dahan parijoto. Daun-daun tua yang menggantung lemah di dahan itu berguguran bersama buah warna-warni sebesar biji kopi. Buah yang dirindukan setiap perempuan yang hamil di Rahtawu. Suatu ketika Diyah akan membutuhkannya untuk janinnya. Kelak jika hubungan mereka direstui. Warga percaya, bayi-bayi rupawan akan lahir karenanya.
Di antara buah-buah yang jatuh itu menyusul rinai. Makin kencang angin menerpa, makin tajam rintik air menusuk pakaian mereka. Gaun Diyah basah. Ia bergegas menyilangkan tangan menutup bagian dadanya yang mulai menerawang. Menonjol seperti bukit-bukit itu.
Madinu canggung memperhatikan. Ia segera berpaling. Punggung mereka saling bertemu. Madinu ingin berbalik dan memeluk Diyah untuk mengurangi rasa menggigil gadis itu. Tetapi, suara gemuruh dari bukit di atas kepala mereka menghentikan lamunan itu.
Rintik hujan berubah batu. Kerikil sebesar batu-batu kricak menerpa kaki mereka. Dahan-dahan kering jatuh dihempas angin puyuh. Pohon-pohon tumbang, keras berderakan. Madinu menarik tangan Diyah dan berlari sekencangnya mendekati pohon besar tak jauh dari situ. Di sela-sela akar pohon yang mencengkeram batu-batu padas itu mereka berlindung.
Angin bertiup kencang membawa kabar tak sedap. Bau pekat humus diiringi suara alunan kendang dan kecrek peperangan kisah Mahabharata terdengar dari atas bukit. “Siapa yang berani memutar wayang di bukit itu? Kamu dengar suara itu, Diyah?!” tanya Madinu setengah berteriak, cemas.
Ia berdiri hendak berlari dan menghardik para pendaki dari kota itu. Namun, tangan Diyah menarik kencang Madinu. Kuda-kuda Madinu tak kuat menahan badannya yang oleng oleh tarikan. Mereka terjerembab dan berguling-guling saling menindih.
Derak suara pohon tumbang di bawah tubir di dekat mereka jatuh makin keras terdengar. Tersingkap akar-akarnya. Batangnya menimpa benda-benda berwarna kuning sebesar baluh. Tiga alat berat milik ayah Diyah berbaris di situ. Madinu mulai berubah pikiran. Inikah yang membuat bencana itu? Bukan wayang yang tabu diputar warga?
Madinu mulai sangsi dengan semua drama itu. Ia bahkan meragukan cinta Diyah. Jangan-jangan ia mendekatiku demi bisnis ayahnya, pikir Madinu. Ia tak mau cinta basa-basi. Ia ingin cinta agung setinggi gunung itu.
“Diyah, apa kamu benar-benar mencintaiku,” tanya Madinu. Diyah tak menjawab. Ia memeluk Madinu erat sekali. Itu sudah cukup sebagai jawaban.
Terkenang kembali perdebatan keras malam itu. Dan demi apa yang dilihatnya di bawah tubir itu, ia menduga akan ada perdebatan lebih keras dan rasanya ia sudah harus memihak. Tapi, bagaimana dengan gadis yang sedang memagut erat tubuhnya ini?
Kampus telah mengubah lelaki desa ini berpikir kritis. Ia tak percaya mitos tabu memutar wayang dari radio di puncak Rahtawu. Juga situs-situs jejak dewa yang dirawat dengan aroma magis itu. Namun, demi keselamatan desanya, ia harus mengesampingkan semua pikiran logis itu, meski berarti harus berhadapan dengan ayah Diyah.
Ia telah menyusun rencana, termasuk jika harus menjadi Patih Mandanasraya yang menculik Dewi Subadra seperti kisah tragis dalam Mahabharata. Ia rahasiakan rencana itu bahkan terhadap Diyah, yang kelak akan menjadi Subadra dalam drama itu.
Kudus, 23 September 2020

Tinggalkan Balasan