Esai, Karya

Dua Pemberontak Datang Sore Lalu

Dongeng telah memanggil dua pemberontak muda: Kanti W. Janis dan Wien Muldian, datang ke Omah Dongeng Marwah (ODM). Kami bercengkerama di tengah bau humus yang menguap usai hujan, sore hingga lepas maghrib kemarin. Keduanya semula hanya ingin diskusi soal literasi sebentar, tetapi dongeng, tarian dan nyanyian telah menggoda mereka berdiam lebih lama di ODM.

Mendongeng bukan hal baru bagi Kanti. Ayahnya, Roy BB Janis, mantan petinggi di PDIP, rajin membacakan dongeng setiap menjelang tidur dan ia masih ingat cerita-cerita itu. Kisah yang telah memantik kegemarannya menulis hingga membuahkan empat novel: Saraswati (2006), Frans dan Sang Balerina (2010), Amplop Merah Muda untuk Pak Pos (2010), dan The Other Door (2012).

Atas karya-karyanya, gadis ini pernah menjadi nominator penerima penghargaan penulis muda berbakat “Sastra Khatulistiwa” (sekarang Kusala Literary Award).

Foto: Orion Bimbim

Agak unik memang, seorang master bidang hukum internasional lulusan Rijksuniversiteit Groningen, Belanda, menggeluti sastra. “Waktu kecil, saya bermimpi ingin membela orang kecil. Itu mungkin yang mengantar saya tertarik bidang hukum dan menjadi pengacara sekarang,” ungkapnya. Ia sisipkan pikiran-pikiran itu dalam novelnya.

Kanti kini sedang menyelesaikan satu novel yang membakar rasa cintanya pada desa: tentang gadis keluarga petani yang tengah berkecamuk antara meninggalkan sawah atau menggelutinya.

Pemberontakan Kanti dimulai ketika dibekap jenuh di SMA pilihan turun-temurun keluarganya. Ia keluar dan mengurus sendiri prosesnya tanpa sepersetujuan orangtua. Ia mendapati sekolah baru dan ternyata tak lebih menjenuhkan dari sebelumnya.

Ia mengaku semasa kecil intovert. Tetapi, hilang pelan-pelan terutama sejak mengenal dongeng dan berlatih menyanyi di kursus vokal milik keluarganya. Ia bergabung di beberapa kelompok paduan suara. Di ODM malam itu dua lagu dinyanyikan. Melengking suaranya entah sampai oktav berapa. Lengkap sudah talenta pemberontak yang satu ini.

Pemberontakan Wien Muldian tak kalah dramatis. Mantan aktivis pers mahasiswa UI ini pernah menjadi dirigen politik dalam gerakan protes mahasiswa saat reformasi politik meletus tahun 1998. Selepas lulus dari studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi di UI, lelaki penuh spirit ini melanjutkan studi di Jepang. Tak berapa lama setelah itu menerima tawaran menjadi pegawai plat merah di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai PNS/ASN waktu itu, karir terakhirnya menjadi Kepala Perpustakaan Kemendikbud.

Sikap pemberontakannya bersemi setelah mengalami kejenuhan di lingkungan birokrasi. Ia merasa terkungkung dan memilih keluar dari PNS setelah mendekam selama 14 tahun. Birokrasi pemerintah bukan dunia yang tepat untuknya. Ia memilih berkecimpung di berbagai organisasi literasi yang ia bentuk dan geluti. Antara lain di Perhimpunan Penulis Satupena (2018-2021).

Foto: Orion Bimbim

Berjibum kegiatan Wien di dunia literasi, mulai riset, perbukuan dan perpustakaan di banyak daerah di Indonesia, juga kota-kota di Asia, Eropa dan Amerika. Pada 2006, ia terpilih menjadi Pemuda Berprestasi Nasional oleh Kantor Menpora. Lalu perjalanan hidupnya dimuat di buku “Catatan Emas: Kisah 20 Pemuda Indonesia yang Mengukir Sejarah”. Pernah juga mendapat penghargaan MTV Trax Young Leader Generation pada 2005 dan Mizan Award di tahun 2004.

Kisah pemberontakan keduanya terungkap setelah seorang lelaki muda di ODM bertanya: bagaimana mengatasi jiwa muda yang selalu ingin memberontak terhadap kultur beku lingkungannya? Mereka mulai berkisah dan terbongkarlah rahasia itu. Pemberontakan ternyata bukan hal tabu. Memberontak jika salurannya benar bisa menghasilkan karya hebat dan berfaedah. Dua pemberontak ini: Kanti W. Janis dan Wien Muldian, telah membuktikannya.

Jadi, mari memberontak! Eh! ??‍♂️

Salam dongeng!
Hasan Aoni, Omah Dongeng Marwah

Tinggalkan Balasan