Karya

Hutan Baba

 “Aku nggak mau main sama Bumi lagi!” Wira menghentakkan kakinya kesal.

Beberapa hari terakhir, Bumi, Wira, dan Dino sering bermain layangan bersama di pinggir hutan. Terkadang, mereka mengajak anak-anak dari desa sebelah, tapi hari ini hanya ada mereka bertiga. Saat sedang asyik menarik tali layangan, Wira tiba-tiba berteriak. Mulutnya terus-terusan menuduh bahwa Bumi yang membuat layangannya putus.

“Sudah, jangan bertengkar. Ayo, kita kejar layanganmu, Wir.” Suara berat milik Dino melerai, meski nihil.

Wira tetaplah Wira. Anak itu malah menyuruh Bumi yang mencarinya sendiri. Sebagai bentuk tanggung jawab, katanya.

Bumi pasrah. Ia tidak suka keributan. Namun, saat Bumi hendak berlari mengejar layangan Wira yang terus tertiup angin, Dino menyempatkan untuk meminta Bumi agar berhati-hati. Sementara Bumi berlari, Dino menegur Wira.

“Wir, kamu ini lagi usil atau apa?” tanya Dino.

Wira meringis tanpa dosa. “Aku bosan. Lagipula, Bumi sendiri juga mau melakukannya.”

Dino hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ingin bertindak, percuma. Bumi sudah terlanjur memasuki Hutan Baba.

Konon, di bagian dalam Hutan Baba terdapat sebuah gubuk manis yang disinggahi oleh penyihir tua. Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, penyihir itu menculik anak-anak. Terutama anak-anak nakal.

“Wir! Wir! Bumi masuk hutan, Wir!” seru Dino panik. Ia segera menarik lengan Wira. Badan Bumi yang agak besar sudah tidak terlihat lagi, tertutup oleh pepohonan dan semak-semak yang menghiasi pinggiran hutan.

Keduanya terus berlari sambil meneriaki nama Bumi. Dino berhenti sejenak karena kelelahan, sementara Wira terus mencari diiringi perasaan bersalah.

Di sisi lain, di tengah hutan Baba yang lebat dan gelap, Bumi menghela napas kelelahan. Ditambah lagi, Ia kehilangan layangan Wira. Badan besar memang tidak bisa dijadikan jaminan.

Bumi menolehkan kepalanya ke berbagai arah, dan menemukan sesuatu. Di sebelah timur, tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini, ada sebuah taman bunga kecil yang manis.

Mungkin layangan Wira ada di sana begitu pikir Bumi.

Bumi melangkahkan kakinya menuju gubuk tersebut. Semakin dekat, Bumi melihat jalan setapak yang membuatnya penasaran. Ia lupa akan layangan Wira untuk sejenak, dan memilih untuk memenuhi rasa ingin tahunya.

Di ujung jalan tersebut, terdapat gubuk kecil, dengan macam-macam sayuran di sekitarnya. Siapa yang tinggal di tengah hutan seperti ini?

Rasa penasaran semakin tumbuh di dalam diri Bumi. Ia menghampiri gubuk tersebut, dan mengetuk beberapa kali. Kemudian, seorang wanita cantik muncul dari balik pintu, menyapa Bumi.

“Hai, anak manis. Apa yang kau lakukan di tengah hutan seperti ini?”

Bumi menatap wanita itu, berusaha untuk tidak terlihat terkejut.

“Anda siapa?” tanya Bumi.

Wanita itu tersenyum manis, kemudian melangkah mendekati Bumi. Rambut merahnya terhempas angin, menampakkan garis wajah yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Bahkan anak laki-laki dua belas tahun seperti Bumi terkagum-kagum karenanya.

“Kau cukup memanggilku Bibi,” ucapnya.

Bumi terlihat ragu. Saat hendak merespon ucapan Bibi, Bumi teringat akan layang-layang Wira.

“Bibi, apakah Bibi lihat layangan di sini?” tanya Bumi.

Bibi mengangguk. “Ooh, jadi layangan itu milikmu?”

Senyum canggung terukir di wajah Bumi. Gaya bicara Bibi yang centil agaknya membuat Bumi lelah.

“Masuk dulu, aku akan ambilkan layanganmu.”

Bumi melangkah kecil memasuki gubuk Bibi. Barang barang milik Bibi terlihat sangat sederhana. Sambil menunggu, Bumi meraih sebuah buku yang merupakan satu-satunya buku di gubuk kecil milik Bibi. Halaman demi halaman ia baca sekilas, menyembunyikan rasa takutnya. Belum sampai setengah buku, Bumi buru-buru menutupnya dan mengembalikannya ke tempat semula.

Lima menit kemudian, Bibi muncul dengan sebuah layangan usang di tangan kirinya. Tapi, itu berbeda jauh dengan layangan milik Wira yang telihat mewah. Karena ketakutan, Bumi menerimanya, berharap cara itu akan membuatnya segera keluar dari tempat ini.

Sangat disayangkan, sepertinya keberuntungan sedang tidak ingin berpihak kepada Bumi. Suara cempreng Wira yang meneriaki namanya justru terdengar sangat nyaring dari dalam gubuk Bibi.

“Bumi … !” panggil Wira sekali lagi.

Secepat kilat, Bumi berlari keluar menghampiri Wira. Namun, secepat kilat juga Bibi sudah ada di luar, tersenyum manis, menawarkan Wira semangkuk makan siang.

“Pas sekali, kebetulan aku membuat dua mangkuk sup. Kalian berdua bisa memakannnya. Kalian berteman, ‘kan?” ucapnya ramah.

Seperti dihipnotis, Wira berjalan masuk begitu saja. Ia duduk di meja makan dan menikmati masakan Bibi tanpa ragu. Berbanding terbalik dengan Bumi yang terlihat tidak nafsu makan.

“Nak, ayo dimakan,” pinta Bibi. Ia terus mengatakan itu sejak tadi, sampai-sampai Bumi merasa dipaksa.

“Bibi, maaf, tapi aku tidak terlalu suka sup. Bibi bisa menyimpannya untuk Bibi sendiri,” ucap Bumi berhati-hati.

Senyuman Bibi yang sebelumnya terus menghiasi wajahnya mendadak pudar, berubah menjadi tatapan mematikan. Semua perabotan rumah di sekitar mereka berubah menjadi barang-barang kuno yang sudah rapuh. Bahkan kursi yang mereka duduki saat ini berbunyi jika mereka bergerak barang sedikit saja. Pakaian Bibi juga berubah menjadi jubah usang berwarna biru tua, dan parasnya pun menjadi seorang nenek tua yang sudah bungkuk. Wira? Masih asik makan. Sepertinya anak laki-laki berkulit sawo matang itu benar-benar dihipnotis.

“Apa kau baru saja menolak pemberianku, anak manis?” tanya Bibi. Nada suara yang centil, berubah menjadi sangat mencekam. Seperti bisikan, namun terdengar sangat kencang.

Bibi tertawa. Tentu saja bukan tawa manis seperti yang sebelumnya Bumi dengar. Tawa bibi yang saat ini sangat menyeramkan. Penampilannya yang telah berubah menjadi seorang penyihir tua dan sangat bungkuk menambah kesan seram dalam tawanya.

Semua keberanian Bumi menghilang seketika saat mendengar tawa Bibi yang semakin membesar. Saking tidak tahannya, Bumi sampai menutup kedua telinganya. Wira, yang baru menyadari apa yang sedang terjadi berteriak histeris. Entah sudah berapa lama hal itu berlangsung, rasanya semakin lama pandangannya semakin kabur. Bumi sadar mereka harus melakukan sesuatu.

Bumi menjauhkan kedua tangannya dari telinga. Rasanya mengerikan sekali mendengar tawa Bibi, namun ia harus tetap tenang. Perlahan, Bumi mengambil buku yang sebelumnya ia baca, dan membuka beberapa halaman.

Ternyata, buku itu berisi mantra-mantra penyihir. Mulai dari mantra yang tidak berpengaruh besar, sampai kutukan yang mematikan. Sulit sekali bagi Bumi untuk membaca, sementara di sekitarnya adalah angin kencang yang dibuat oleh Bibi. Kertas-kertas di buku terus terbalik. Tidak membutuhkan waktu sebanyak yang dikira, Bumi segera menutup buku itu dan menandai satu halaman dengan jari telunjuknya.

Tiba-tiba, benda-benda tua di sekitar mereka bergetar semakin hebat, dan badai dadakan dimulai di luar. Pintu, jendela, tirai, semuanya terhempas angin dan membuat air dari luar masuk ke dalam gubuk Bibi.

Di tengah kencangnya angin, dan suara menggelegar petir, Bumi berseru kepada wira, memintanya untuk tetap tenang sembari bersiap membacakan isi dari halaman yang ia tandai dengan jari telunjuknya tadi.

“Hei! Hei! Tenanglah, kita akan baik-baik saja ‘kok!”

Teriakan Wira mengecil. Anak laki-laki itu menatap kedua mata Bumi, dan menemukan kesungguhan di dalamnya. Wira mengesampingkan rasa takutnya, dan terus fokus kepada suara dan pergerakan Bumi.

Tanpa pikir panjang, Bumi berseru, “Hei!”

Bumi menunjukkan buku yang ia dapatkan, dan Wira membacakan apa yang tertuliskan di sana.

“Mantra ini dapat digunakan untuk memusnahkan siapa saja yang pantas mendapatkannya.” Wira berhenti membaca sejenak, menunggu reaksi Bibi yang kini menghentikan aksinya membuat angin kencang dan barang-barang bergetar.

“Mereka yang memiliki niat buruk, menyakiti orang-orang tidak bersalah, dan mereka yang sebelumnya pernah menyalahgunakan mantra ini,” lanjut Bumi, membantu Wira membacanya.

Raut wajah Bibi semakin ketakutan. Mantra yang akan Bumi ucapkan mampu membuatnya lenyap dalam sekejap, karena ia sendiri tahu bahwa ia pantas mendapatkannya.

“Tidak dibutuhkan tongkat sihir untuk membuatnya berfungsi-“

“Hentikan! Jangan lanjutkan!” Akhirnya Bibi bersuara. Ia benar-benar ketakutan.

“Siapa kau berani memerintahku?” tanya Wira, ketus. Bibi telihat benar-benar ketakutan saat ini.

“Pulanglah. Aku akan membiarkanmu pergi, kumohon. Kembalikan buku itu, dan kembali ke ibu kalian,” ucap Bibi dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Ia bahkan berlutut.

Tanpa memedulikan Bibi yang ketakutan setengah mati, Bumi menarik pergelangan tangan Wira, mengajaknya segera keluar dari sana sembari mengucapkan mantra yang tertera di dalam buku.

“Jugora!” teriak Wira dan Bumi bersamaan. Sesegera mungkin mereka berlari mejauh dari gubuk Bibi.

Sesaat setelah mereka keluar, terdengar teriakan yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Badai dan petir tetap berlangsung, namun mereka tidak segera mencari jalan keluar, karena Wira harus menemui Dino yang sebelumnya beristirahat. Untungnya, hutan Baba sudah memiliki jalan setapak, jadi Bumi dan Wira tidak kesulitan mencari Dino, dan mereka dapat kembali dengan selamat.

Di perjalanan menuju rumah masing-masing, Wira mengatakan sesuatu.

“Bumi, maafkan aku. Seharusnya aku tidak usil sampai membuatmu berlari mengejar layanganku. Aku tidak mengira kamu akan jatuh ke jurang. Maaf, Bumi.”

Sempat bingung, namun Bumi kemudian mengangguk. “Nggak apa-apa, Wir. Lain kali jangan diulangi lagi, ya.”

Wira mengangguk senang.

Keduanya memutuskan untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi agar tidak membuat para warga resah. Terutama untuk orangtua mereka. Yang terpenting, mereka kembali dalam keadaan baik-baik saja, dan penyihir yang dikabarkan senang menculik anak-anak sudah lenyap. Bumi berharap, kehidupan di sekitarnya berubah menjadi lebih tenang seiring berjalannya waktu.

 

Dyah Lunnarsuci Hayuningtyas, Sekolah di Omah Dongeng Marwah

 

 

Tinggalkan Balasan