Ragam

Komunitas Marwah Ajarkan Dongeng dan Barongan

Jawa Pos Radar Kudus, 11 Maret 2015, Reporter Rizal Mahri, Bae

Budaya tradisonal nusantara kini semakin terkikis dengan adanya teknologi canggih, seperti gadget. Anak-anak lebih suka bermain game online dibanding bermain barongan atau mendengarkan dongeng.

Hal ini tidak untuk komunitas Masyarakat Reksa Warisan Berharga (Marwah). Komunitas di Jalan Ngasinan No. 9, Dukuh  Plumbungan, Desa Purworejo, Kecamatan Bae ini, justru mengajarkan anak-anak dongeng dan barongan.

Edy Supratno, ketua Marwah mengatakan, komunitas ini sebagai wadah untuk melestarikan budaya tradisional yang akhir-akhir ini semakin redup. “Adanya komunitas ini, anak-anak bisa mengenal budaya asli mereka,” ujarnya kemarin.

Marwah berdiri 2014 lalu. Salah satu fokusnya adalah pendidikan menggunakan metode dongeng. Komunitas yang mempunyai 15 guru ini memilih dongeng karena menyenangkan. Selain itu, sebagai cara mentradisikan dongeng dalam pendidikan anak. “Kalau di sekolah dongeng tidak diajarkan. Sementara di sini anak-anak dapat ilmu tambahan tentang dongeng,” papar Edy.

Komunitas di sekitar area persawahan ini mengajarkan dongeng setiap hari sekitar pukul 15.00 sampai menjelang magrib. Tempat untuk berdongeng tidak melulu selalu di kelas. Kadang para guru memilih di halaman sanggar sambil mencari udara segar.

Untuk materi dongeng  guru mengambil cerita tentang wayang atau tema dari lingkungan sekitar. Di antaranya tentang tumbuhan dan hewan di Desa Panjang dan Purworejo.

Selain dongeng, anak-anak dilatih barongan. Bisanya dilakukan setiap sabtu setelah ashar sampai menjelang magrib. Sebelum praktik, anak-anak dikasih teori di kelas. Baik sejarah sampai bagaimana melakukan gerakan barongan dengan baik dan benar. Pengiring musik tidak luput dikasih arahan.

latihan-barongan

Sementara untuk alat sampai saat ini masih dipinjami oleh Jamsari, pelaku barongan asal Desa Panjang. Jamsari meminjamkan alat karena melihat keseriusan anak-anak dalam berlatih.

Kini Marwah sudah  memiliki 20 peserta. Semuanya berasal dari dua desa, Purworejo dan Panjang. Rata-rata peserta masih pelajar, mulai SD sampai SMP.

Setelah pulang sekolah, mereka menggali pasir dulu di area sungai. Baru setelah itu mereka ke sanggar untuk latihan dongeng dan barongan.

Edy menilai anak-anak di Marwah tergolong anak mandiri. Mereka ikut membantu ekonomi keluarga, walaupun tidak seberapa. Dengan adanya Marwah, dia berharap keberadaan budaya lokal tetap terjaga dan generasi penerusnya selalu ada. (*/ris/lin)

Tinggalkan Balasan