Karya

The Killer

hasan-aoni

Oleh Hasan Aoni

Pernahkah kita mendengar istilah guru “killer” atau guru yang mematikan waktu kita sekolah dulu? Istilah guru “killer” biasanya diberikan kepada guru yang galak atau yang ditakuti murid-murid.

Killer atau tidaknya seorang guru tergantung pada cara guru membangun relasi dengan murid-murid. Makin enjoy relasi yang dibangun, makin jauh guru dicap killer. Tetapi, makna killer juga dipengaruhi oleh penting tidaknya mata pelajaran yang diampu guru.

Guru killer rata-rata mengampu mata pelajaran yang oleh murid-murid dianggap sulit, seperti matematika, IPA (kimia, fisika), atau mata pelajaran lain yang menentukan kenaikan kelas, seperti Bahasa Inggris.

Jika melihat itu, kadar ke-killer-an bisa jadi merupakan sifat yang melekat pada mata pelajaran itu sendiri karena terdapatnya beban rumus yang dikandung, kedisiplinan tinggi untuk memperhatikan, serta keterhubungan antara rumus satu dengan rumus selanjutnya.

Kesulitan murid-murid dalam memahami mata pelajaran itu celakanya sering berjodoh dengan kesulitan guru dalam mengurai mata pelajaran itu kepada murid-muridnya. Jadi, pas lah seperti botol ketemu tutupnya. Ilmu yang bersifat pasti (exact) – yang karena sifat kepastiannya biasanya tak memberi banyak pilihan jawaban, atau jawaban yang tersedia hanya satu dan pasti – berubah menjadi ketidakpastian di kepala murid-murid. Sesuatu yang seharusnya lebih mudah justru berbalik rumit. (Nah, pusing, toh?).

“Sakit kepala dua kali aku mengikuti pelajaran ini,” kata Appu, tokoh anak dalam film “Nil Battey Sannata” menghadapi gurunya yang killer, dan mata pelajaran matematika yang memusingkannya. Bahkan dalam satu scene Appu sempat berdoa: “Ya Tuhan, selamatkan aku dari matematika”.  (Hahh?!).

 

Poster film Nil Battey Sannata (2016) / Wikipedia

Film itu memang cukup apik menggambarkan situasi ketakutan murid mengikuti pelajaran matematika di kelas. Dengan guru yang tak menoleransi ketidakmampuan murid menyelesaikan soal-soal, dan uraian rumus yang rumit di papan tulis, membuat suasana kelas bagi murid yang tak menyukai matematika serasa seperti neraka. Jika ada yang bisa menyelamatkan mereka dari suasana itu tak lain hanyalah bunyi bel tanda pelajaran berganti.

Seperti itulah potret kelas di sekolah-sekolah formal hari ini. Ruangan yang baru saja menebarkan tawa dan kegembiraan ketika pelajaran kesenian berlangsung, berubah muram ketika berganti matematika. Padahal di ruangan yang sama, murid yang sama, dan waktu yang relatif sama.

Apa yang salah dengan situasi seperti ini? “Di depan kelas guru gagal menjelaskan rumus matematika dengan mudah. Sifat kaku pelajaran eksakta berpindah ke dalam kekakuan gurunya,” kata seorang pengamat pendidikan.

Apa memang begitu? “Harusnya tidak. Saya bahkan masih memberi tutorial kepada murid-murid saya ketika ulangan matematika berlangsung. Saya beri sedikit stimulan cara pengerjaan yang benar, tanpa saya memberi tahu jawabannya,” kata M. Basuki Sugita, guru matematika SMP Keluarga, di Kudus.

Kepada murid yang pintar dia masih menengok proses pengerjaan sambil berpesan: “Lebih teliti lagi, ya,” katanya.

Ulangan menurut Basuki adalah latihan menerapkan rumus dalam soal, jadi perlu diciptakan suasana rileks supaya mereka mudah mengerjakan. Ulangan dan soal itu sendiri, kata guru matematika teladan itu, mengandung ketegangan. Jadi, guru jangan menambah ketegangan baru.

Dengan memberi stimulasi itu mungkin Basuki sedang ingin memanfaatkan golden momentum daya ingat murid terhadap rumus atau cara saat suasana genting seperti momen ulangan. Suasana-suasana tertentu dalam episode kehidupan memang bisa memberi kesan yang sangat dalam untuk diingat seseorang.

Guru, kata Edy Supratno, pegiat di Sekolah Omah Dongeng Marwah (ODM), tentang cara mengajar, sebaiknya tidak berpikir takut turun martabatnya dengan memilih cara mengajar yang lebih komunikatif dan demokratis. Risiko mengajar dengan metode ini biasanya menciptakan suasana kelas yang lebih “cerewet” karena banyaknya pertanyaan murid. “Kecerewetan” bukan wujud ketidakhormatan.

Kewibawaan guru dan penghormatan terhadap mata pelajaran di mata murid-murid, sambung Edy, tidak ditentukan oleh serem tidaknya guru memaksa murid supaya patuh, tapi lebih karena pintarnya guru menciptakan suasana senang murid mengikuti pelajaran di kelas.

Dengan cara ini, seharusnya hari ini sudah tak ada lagi guru killer di mata murid-murid.

Salam dongeng!

Tinggalkan Balasan