Rezeki si Tukang Gambar
Ketika itu Amerika sedang musim dingin. Di sebuah kota kecil hiduplah dua remaja beserta kedua orang tuanya. Mereka sedang menjalankan usaha baru.
Di suhu sangat menusuk tulang itu, Walt, salah seorang anak remaja itu biasa bangun tengah malam. Dilihat jam dinding di rumahnya pukul 03.30. Itu artinya sebentar lagi yang ditunggu bakal datang, yaitu sebuah truk yang akan mengangkut koran-korannya.
“Telolet…telolet,” terdengar suara klakson dari luar rumah. Remaja tadi bergegas keluar rumah beserta kakaknya.
“Wush,” suhu dingin langsung menyergap dan menembus jaket tebal yang mereka pakai.
“Hi…..dingin,” Walt merasakan kedinginan.
“Setelah itu, seperti biasa, antarkan koran-koran ini kepada pelanggan kita. Jangan sampai telat,” kata Disney, bapak kedua remaja itu.
Keduanya mengangguk dengan menahan rasa dingin yang sangat. Mereka kemudian membawa koran-koran produksi mereka. Beban keduanya sangat berat. Tapi, mau tidak mau pekerjaan itu harus dijalankan karena orang tua mereka tidak punya pembantu atau pegawai.
Bisnis pembuatan koran adalah usaha keluarga Disney yang baru. Sebelumnya mereka hidup di desa menjadi petani. Tapi, mereka gagal panen berturut-turut sehingga mereka memilih usaha baru.
Pagi itu, Walt dan kakaknya mendatangi satu per satu rumah yang akan dituju. Tapi baru separo perjalanan Walt merasakan dirinya kepayahan.
“Kak, mari kita istirahat dulu.”
“Koran yang harus kita antarkan masih banyak, Dik,” kata Ray, kakaknya.
“Jika sampai telat nanti kita diprotes pelanggan. Kalau Bapak tahu kita pasti dimarahi,” tambah Ray.
“Tapi aku sudah tidak kuat, Kak.”
Akhirnya, kakaknya bisa memahami adiknya. Dialah yang mengantarkan koran-koran itu.
Walt ternyata benar-benar kedinginan. Dia menggigil. Giginya beradu dan menimbulkan suara gemeretak. Kulit tangannya berkeriput seperti mati. Bibirnya biru. Dia jongkok di sudut rumah orang untuk mencari kehangatan.
Di tengah kedinginan itu dia merenungi nasibnya. “Aku harus jadi orang kaya,” tekadnya.
Tak lama kemudian, Walt masuk tentara dan ikut dalam Perang Dunia I. Dia berharap jadi tentara bisa membuatnya kaya. Ternyata dia tidak betah jadi tentara. Dia pun meninggalkan pekerjaan itu setelah perang selesai.
Ternyata mencari pekerjaan tidak gampang. Dia kemudian menganggur dan tak punya apa-apa. Dia malu kembali kepada orang tuanya. Dia jadi gelandangan.
Akhirnya salah seorang kemudian memberinya tumpangan. Walt kemudian hidup di sebuah bengkel. Di sanalah sehari-hari hidupnya di jalani sambil mencari-cari lowongan pekerjaan.
Jika malam hari dia tidur sebuah bangku reyot. Suatu malam, saat dia asyik tertidur, kakinya digigit sesuatu. Clekit.
“Wadow…” Walt langsung terbangun.
Cit…cit…cit… dilihatnya beberapa ekor tikus berlarian.
Karena tidak bisa tidur lagi, Walt bengong. Dia kemudian mengambil sebuah kertas dan pensil. Dia mulai menggambar. Dia memang hobi menggambar. Hobi itu dia jalani ketika senggang atau saat merenungi nasib seperti di bengkel itu.
Ketika dia sendiri, dia selalu merindukan hidupnya saat di desa menjadi petani. Hal yang masih diingatnya adalah hewan-hewan di sekitar rumahnya. Bebek dan anjing. Keduanya lalu menjadi kenangan dan selalu menjadi objek ketika Walt menggambar.
Kali ini dia mencoba gambar yang lain. Tapi Walt bingung mau menggambar apa.
Cit… cit..cit… seorang tikus kembali akan menggigit kaki Walt. Untung saja dia segera mengangkatnya. Seketika itu Walt dapat ide. Dia kemudian menggambar hewan yang akan menggigitnya itu dan dipadukan dengan gambar bebek dan anjing.
Setelah menyelesaikan gambarnya itu, Walt merasa di bidang inilah keahliannya. Tanpa berpikir panjang, esok harinya dia utang pada kakaknya untuk pergi ke Hollywood, pusat pembuatan film di Amerika.
Dengan wajah penuh semangat, dia mendatangi satu per satu studio. Ternyata, dia harus bersaing dengan ribuan orang.
“Tok..tok..tok… permisi.”
“Ya, silakan masuk.”
“Perkenalkan, saya Walt. Saya berminat bekerja di studio film,” kata Walt.
Pemilik studio tadi mengamati Walt. Dari kepala sampai kaki.
“Maaf, untuk sementara kami tidak ada lowongan,” kata pemilik studio.
Walt kemudian masuk ke studio lainnya. Kurang beruntung, walau sudah keluar masuk ke banyak studio, tak ada satu pun yang tertarik pada Walt. Semua mengatakan tidak ada lowongan. Walt tentu saja sedih.
Mendadak dia sadar, dia masuk ke studio tanpa punya modal. Tidak ada satu pun gambar yang ditunjukkan. Seketika itu dia lalu menggambar. Berikutnya dia masuk ke studio-studio itu lagi.
Studio pertama menolak. Di studio kedua juga sama. Ketika masuk ke studio ketiga pemiliknya masih pikir-pikir. Di studio keempat mengatakan sedikit tertarik, tapi belum saat ini. Berikutnya Walt mendatangi studio kelima dengan berharap ada rezeki di sana.
“Oke. Kami tertarik. Buatkan kartunnya. Kami bayar seribu lima ratus dolar,” kata pemilik studio.
Walt kaget. Dia tak menyangka gambarnya dihargai sebegitu tinggi. Dia mengira harga 50 dolar sudah sangat baik.
Walt kemudian mulai menggambar sesuai permintaan. Gambar kartun itu difilmkan. Peminatnya banyak sekali. Pemilik studio dapat rezeki besar. Begitu juga Walt. Dia kemudian bisa membeli rumah dan membuat studio sendiri.
Ketika semakin sukses, Walt selanjutnya membangun sebuah taman impian bagi anak-anak. Impian itu terkabul dan rezeki tukang gambar itu pun terus melimpah sampai sekarang.
Kak Edy