Ragam

Tiga Tanda Zaman Jelang Kurban

Tiga peristiwa penting di Indonesia terjadi dalam empat bulan terakhir: Jokowi terpilih kembali, listrik PLN mati, Mbah Maimun pergi. Berurutan tanda-tanda zaman meminta agar yang dipilih segera melakukan perubahan: terangi dunia, lahirkan kembali dari pembangunan orang-orang berharga.

Terpilih, padam, wafat, ketiganya tak seorang pun manusia bisa persis menebak. Semua hanya bisa menangkap tanda. Kecuali wafat, manusia hanya bisa menghindari atau menjadikan mungkin. Kita mengenal azas kepastian dalam ketidakpastian hukum probabilitas.

Hukum lain mengenal yang kalah dan menang, yang padam dan terang, yang pergi dan datang. Semua tahu, tetapi satu hal sering dilupakan bahwa setelah ikhtiar dibutuhkan sikap berserah diri dan taat pada aturan. Kesulitan seseorang dalam menerima kekalahan, ketidakpintaran mengatasi persoalan, dan ketidaksiapan menghadap kematian, disebabkan oleh kegagalan dalam memahami arti pertarungan, kegelapan, dan kehilangan.

Bertarung di luar arena ketika pertandingan usai bahkan ketika pemenang sudah diumumkan, kita tahu bukan sikap pendekar. Setahun ini urat-urat saraf dikencangkan, busur, panah, dan kuda-kuda dipancangkan tak kenal batas akhir seolah kita dalam perang meski bendera perdamaian sudah dikibarkan. Saatnya berhenti dan menjura pada yang menang. Ini hukum pertandingan.

Memupuk terus permusuhan seperti menumbuhkan candu, karena pertarungan yang tak berkesudahan itu judi. Ketika Anda kalah, kata Mark Griffiths, psikolog dari Universitas Nottingham Trent, tubuh Anda masih menghasilkan adrenalin dan endorfin yang akan memanggil Anda kembali bertarung dan harus menang. Kekalahan dalam judi adalah keberuntungan yang tertunda.

Tak perlu memaksa menjadi siapa dan apapun kecuali yang sudah ditakdirkan setelah usaha. Semua pilihan selalu menggendong seransel risiko. Sekecil apapun akan menjadi tampak besar kalau tak sabar, seperti sebesar apapun bisa dikecilkan kalau ada sabar. Tanda-tanda zaman itu sudah ada sejak Ismail dipersembahkan jadi domba, dan kita temui lagi dalam empat bulan terakhir jelang hari kurban.

Saatnya yang baru terpilih membangkitkan persatuan, menerangi kegelapan dengan sebesar apapun perbedaan, karena yang baru saja meninggal telah mencontohkan pengorbanan dengan sangat ikhlas lagi dalam.

Salam dongeng!
Hasan Aoni, pendiri Omah Dongeng Marwah

— Foto: Mbah Maimun dalam peluk cinta pelukisnya, Gani.

09

 

Tinggalkan Balasan