Ragam

Rumitnya Matematika Dipermudah dengan Dongeng

Suara Merdeka, 25 Juni 2015, Reporter Saiful Annas

KESENIAN BARONGAN : Anak-anak berlatih tari barongan di Omah Dongeng Marwah Kudus. Inzet : Edy Supratno. (SM/Saiful Annas)

Pelajaran Matematika sering menjadi momok bagi anak sekolah. Tak jarang mereka takut menghadapi ilmu berhitung tersebut. Anak-anak Omah Dongeng Marwah justru membedah matematika dari sisi yang menyenangkan: lewat dongeng.

Gerakan lincah tarian Irfan (8), menjadi pusat perhatian warga saat berlatih barongan bersama anakanak warga Desa Panjang dan Purworejo, Kecamatan Bae, Kudus, akhir pekan lalu.

Meski baru berlatih tiga kali, Irfan mulai terlihat mahir memerankan tokoh Pentol.

Gerakannya mengundang tawa penonton yang hadir. Sementara itu, dua temannya yang lain terlihat menikmati perannya sebagai singo barong. Bau asap menyan yang menusuk hidung semakin membuat permainan mereka menjadi-jadi. Irfan adalah satu dari puluhan anak-anak yang aktif belajar di Omah Dongeng Marwah. Di Sabtu sore akhir pekan lalu, Omah Dongeng dipenuhi aktivitas anak-anak desa.

Di saat Irfan dan kelompoknya asyik belajar seni barongan, sekelompok anak-anak lain asyik belajar mendongeng di sebuah sudut taman nan asri di halaman Griya Balur. Di sudut lainnya, sekelompok guru dan mahasiswa pendamping tak kalah serius menciptakan gerakan tari kreasi yang mereka sebut tari matematika.

Mereka membuat koreografi gerakan-gerakan tari yang menggambarkan bentuk bangun ruang dalam pelajaran matematika. Bentuk seperti bujur sangkar, jajaran genjang, layang-layang, hingga segitiga divisualisasikan melalui gerakan tangan, tubuh, dan kaki. Meski berbeda aktivitas, ada benang merah yang menghubungkan aktivitas anakanak di Omah Dongeng, yaitu matematika.

Kenapa harus matematika? ”Matematika kerap menjadi momok bagi anak-anak di sekolah. Stigma matematika sebagai momok ini lah ingin kami ubah,” kata penggagas Omah Dongeng, Edy Supratno. Di Omah Dongeng, anakanak belajar menyukai matematika melalui sebuah cerita atau dongeng. Pada materi pelajaran pengurangan atau penjumlahan bilangan misalnya.

Banyak anak-anak sekolah dasar kebingungan mempelajarinya. Dari dongeng, sebuah soal matematika yang terlihat rumit dijabarkan melalui sebuah kisah atau cerita. Dari dongeng itu anak-anak akan belajar memahami soal yang dimaksud. Selain belajar logika, dari dongeng itu pula anak-anak belajar berbagai pesan moral.

Edy menuturkan, dongeng diajarkan bukan sebagai sebuah materi, namun sebagai metode belajar. Dongeng menjadi pemicu semangat anak-anak untuk mempelajari sesuatu. Edy yang mantan wartawan mengatakan, pelajaran di sekolah diajarkan melalui pendekatan kognitif. Di Omah Dongeng, sisi afektif anak tersentuh melalui sebuah dongeng.

Tarian yang diciptakan guru dan mahasiswa yang menjadi pendamping di Omah Dongeng juga dimaksudkan untuk memudahkan anak-anak belajar bangun ruang. Dengan tarian, anakanak diharapkan semakin bersemangat belajar matematika.

Belajar Bersama

Sejak akhir 2014, Omah Dongeng Marwah menjadi semacam rumah belajar bagi anakanak dari dua desa, Panjang dan Purworejo. Sejumlah anak-anak dari desa tetangga juga ikut bergabung. Kegiatan itu bermula ketika suami Dwi Yuli Astuti itu menggelar workshop dongeng bagi sejumlah mahasiswa di Kudus, akhir tahun lalu.

Mantan komisioner KPU Kudus periode 2008-2013 itu merasa tak puas jika materi yang dibahas hanya berhenti di acara formal saja. Bapak dua anak ini merasa ide dan gagasan yang muncul selama workshop perlu direalisasikan. Edy dan peserta workshop pun merintis sebuah metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak-anak. Gayung bersambut. Pemilik Griya Balur Hasan Aoni Aziz US mempersilakan pelataran tempat usahanya untuk kegiatan anak-anak. Maka, berdirilah Omah Dongeng Marwah pada Oktober 2014.

Marwah merupakan singkatan dari Masyarakat Reksa Warisan Berharga. Melalui tradisi dongeng, warisan berharga para pendahulu dilestarikan, salah satunya masuk dan menyatu dalam pelajaran sekolah formal. Setelah tempat tersedia, Edy yang pernah menjadi dosen mata kuliah jurnalistik di Universitas Muria Kudus (UMK) mengajak anakanak desa tetangga untuk belajar bersama.

Tak dinyana, respons warga sangat positif. Para orang tua antusias mendorong anakanaknya belajar di Omah Dongeng. Padahal sebagian anak ada yang bekerja membantu perekonomian keluarganya. Mulai menjadi pengangkut pasir, hingga pekerjaan kasar lainnya. Mereka dengan senang hati meluangkan waktu untuk belajar.

Anak-anak Omah Dongeng berkumpul setiap sore. Selain belajar pelajaran sekolah, anakanak Omah Dongeng diberi keleluasaan mengembangkan minat dan bakatnya. Salah satunya, melalui kesenian barongan. Kebetulan, di Desa Purworejo pernah berdiri kelompok kesenian barongan. Namun kelompok itu kini sudah tinggal cerita, menyisakan sebuah perangkat alat musik barongan. ”Setelah kami melakukan pendekatan, pemilik mau meminjami peralatan musik tersebut.

Kami mengundang seniman barongan untuk melatih anakanak,” kata Edy. Jadilan anak-anak berlatih untuk menghidupkan kembali kelompok seni barongan desanya, di bawah asuhan seniman barongan Nanang Bagus Sukadi, warga Desa Loram Wetan. Pemimpin kelompok seni barongan Setyo Budoyo itu mengajari anak-anak teknik dasar bermain barongan.

Selama Ramadan, kegiatan anak-anak Omah Dongeng tak surut. Para pendamping meningkatkan keterampilan mendongeng, terus menyempurnakan gerakan tari matematika, serta membuat parodi lagu untuk rumus pelajaran matematika.

Tak melulu tentang matematika, anak-anak juga diajak mengenal sejarah Kudus seperti saat menziarahi makam kakak kandung RA Kartini, RM Panji Sosrokartono, hingga belajar ilmu purbakala di situs purbakala Patiayam, Terban, Kudus. Di lain waktu, mereka belajar tentang air di Sendang Jodo, tak jauh dari Griya Balur.

Tinggalkan Balasan